Rabu, 19 Desember 2012


A.    Sejarah Asal Usul Masyarakat Minang Kabau
Penduduk Sumatera adalah imigran dari Taiwan. Jalur yang ditempuh adalah, dari Taiwan terus ke Pilipina. Selanjutnya, melalui Luzon ke Kalimantan, dari Kalimantan ke Sumatera. Kesimpulan ini diambil Bellwood berdasarkan perbandingan bahasa. Adapun Bluts melakukan penelitian terhadap 62 bahasa Austronesia di luar Taiwan yang menghasilkan rekonstruksi 200 kata Proto Malayo-Polynesia (PMP). Rekonstruksi 200 kata PMP itu dibandingkan kembali dengan bahasa-bahasa Western Malayo-Polynesia (WMP), antara lain bahasa Minang Kabau. Hasilnya bahasa Minang Kabau 50 persen kognat dengan PMP.
Kajian terakhir tentang tanah air orang Melayu dan asal-usul bahasa Melayu, seperti yang dikemukakan Tadmor yang menghipotesiskan, bahwa Sumatera bagian tengah atau selatan (SBTS) sebagai tanah air dan asal-usul bahasa Melayu, bukan di Kalimantan.[1] Minang Kabau dalam argumentasi Benjamin, jelas termasuk kelompok budaya Melayu, dan karena itu tidak mungkin berpisah membentuk kelompok sendiri lebih dari dua-tiga ribu tahun yang lalu.

Sedangkan sistem matrilineal, kemungkinan telah bermula sebagai hasil berpergiannya sebahagian laki-laki ke daerah-daerah rantau primordial selama masa-masa ekspansi pertanian pionir, dengan meninggalkan wanita-wanita di rumah yang menjadi basis dari organisasi domestik. Akibatnya telah menyebabkan melembaga sistem matrilineal yang berpuncak dari eratnya hubungan ibu dan anak.[2]
Dalam buku Profil Propinsi Republik Indonesia: Sumatera Barat, dinyatakan peninggalan prasejarah banyak ditemukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dan di daerah Solok Selatan. Peninggalan prasejarah itu berbentuk batu dakon, batu besar berukir, batu besar berlubang, batu punden, kubur batu, altar, dan yang paling dominan adalah batu berukir.
Berdasarkan peninggalan tradisi megalitik yang ditemukan di Kabupaten Lima Puluh Kota diasumsikan bahwa, manusia pendukung kebudayaan tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan Dongson. Kebudayaan itu dikembangkana oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di daerah Indo-Cina dan berkembang dengan pesat pada zaman Megalitikum dan zaman Hindu.
Selanjutnya dinyatakan bahwa, nenek moyang orang Minang Kabau diduga datang dari daratan Indo-Cina, terus mengarungi lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka, kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak, Indragiri. Sebagian di antaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.
Berdasarkan asal usul suku Minang Kabau ini antara ilmu perbandingan bahasa dan bukti arkeologis, sekilas tampaknya ada perbedaan, namun ada kesamaan yaitu, adanya tali kebudayaan dan tali bahasa yang menghubungkan bangsa-bangsa Austronesia.[3] Berlawanan dengan teori di atas, sebagaimana yang diceritakan dalam Tambo dan Kaba Minang, bahwa asal usul orang Minang Kabau keturunan dari Dinasti Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) sebaiknya dilupakan saja, karena menurut Poortman (ahli sejarah asal Belanda yang ahli Batak), itu adalah buatan dari para pemalsu sejarah, di antaranya Sultan Malik Ul Mansur.[4]

B.     Sejarah Penamaan Minang Kabau
Hikayat menceritakan bahwa penamaan Minang Kabau terambil dari ungkapan “menang adu kerbau.” Di antaranya buku-buku sejarah, Hikayat Raja-raja Pasai yang melukiskan peristiwa-peristiwa di Sumatera antara 1280 dan 1400. Yaitu masuknya Islam kekesultanan Samudra-Pasai di pesisir timur laut, dan akhirnya ekspansi kerajaan Majapahit dari Jawa ketika ia memasukkan kepulauan sebelah barat itu ke dalam imperiumnya. Dalam versi cerita Majapahit terdapatlah kesimpulan-kesimpulan aneh, kekalahan ratu Majapahit dalam laga “adu kerbau” dengan penduduk setempat.[5]
Namun Hikayat-hikayat tersebut merupakan dongeng yang dibuat sedemikian rupa, agar kedua suku bangsa (Majapahit-Singosari dan Minang) tidak bersatu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di Nusantara ini. Akibatnya di dalam penulisan sejarah Nasional, masing-masing pihak telah kehilangan data tentang adanya hubungan kekeluargaan antara mereka.
MD. Mansur dkk., telah mengidentifikasi peristiwa “adu kerbau” itu dengan kedatangan tentara Singosari, pada tahun 1289. Dengan demikian, bukanlah kerbau Patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit yang berlaga dengan kerbau Patih Sewatang (Datuk Parpatih Nan Sabatang) dalam peristiwa itu. Karena kedatangan tentara kerajaan Majapahit bersama Adityawarman setelah tentara kerajaan Singosari ditarik ke Jawa oleh Raden Wijaya. Sedangkan Adityawarman berada di Minang Kabau dalam tahun 1347.[6]
Akan tetapi para ahli yang datang belakangan berpendapat, bahwa kata “Minang” berasal dari “mainang,” artinya memelihara kehidupan. Kehidupan hanya dapat berlangsung apabila tersedia air. Sebagaimana penduduk yang bermukim di nagari Tanjung Sungayang dan nagari Minang Kabau di dekat nagari Pagaruyuang, di Luhak Nan Tuo, Kabupaten Tanah Datar. Sampai sekarang masih menyebut sumber mata air besar di kampung mereka dengan “minang.”
Minang memiliki beberapa pancuran untuk mengalirkan air dari sumbernya. Sedangkan mata air yang lebih kecil disebut sebagai “luak.” Kata luak/luhak juga dipakai oleh penduduk lainnya di Sumatera Barat untuk menyebut sumber mata air ini. Minang dan luhak memiliki makna yang sama, yaitu sumber mata air atau memelihara kehidupan.
Adapun yang dikatakan dengan “kabau” (kerbau) adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan agraris nenek moyang mereka pada zaman dahulu. Tenaga (daya) binatang ini sangat dibutuhkan untuk alat transportasi dan produksi. Lain dari itu, kerbau juga sebagai alat bantu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan agraris untuk mencapai peningkatan mutu dalam kehidupan.
Karena hasil pertanian tidak akan optimal apabila tidak ada binatang kerbau yang membantu pekerjaannya. Sedangkan dagingnya juga dapat dijadikan syarat utama untuk pesta-pesta adat dan lambang kehormatan. Maka dari itu tanpa adanya air dan keterlibatan kerbau, mereka tidak akan bisa hidup sekaligus mengembangkan peradabannya.
Oleh karena itu muncullah metafora “Minang Kabau” yang merupakan simbol dari gabungan nilai kualitatif (Minang) dengan simbol nilai kuantitatif (Kabau) untuk acuan kehidupan. Di sini makna kata “Minang Kabau” bukan berarti “memelihara binatang kerbau” secara harfiah, akan tetapi penggabungan dua kata, yang masing-masing kata memiliki nilai sendiri-sendiri ibarat bit informasi bilangan digital. Mengacu pada penjelasan di atas, maka tulisan “Minangkabau” seperti lazimnya, akan ditulis terpisah menjadi Minang Kabau. Penulisan demikian adalah cara penulisan yang asli, maksud dan tujuannya agar istilah “Minang” dan ‘”Kabau” lebih mudah dipahami asal katanya.[7]

C.    Geografis Minang Kabau
Letak geografis Minang Kabau (Propinsi Sumatera Barat) terletak pada 00 45 Lintang Utara sampai dengan 30 36 Lintang Selatan dan 980 36 sampai dengan 1010 53 Bujur Timur. Daerah ini merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dilewati oleh garis khatulistiwa, tepatnya di Kota Bonjol (Kabupaten Pasaman).
Daerah propinsi Sumatera Barat terdiri dari delapan kabupaten[8] dan enam kota madya.[9] Batas-batas propinsi Sumatera Barat (Alam Minang Kabau) sebelah utara berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Propinsi Bengkulu; sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan; sebelah timur berbatasan dengan Riau dan Jambi. Semua itu pada umumnya berada dalam wilayah budaya Minang Kabau, kecuali Kepulauan Mentawai.
Namun, dalam pandangan budaya masyarakat Minang Kabau, secara kultural mereka tidak mengenal batas-batas (geografis) wilayah Minang Kabau dengan menggunakan istilah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Akan tetapi batas-batas wilayah tersebut mereka kenal seperti yang tertuang dalam pidato adat:
Dari ombak nan badabuo
Sampai kasikilang Aia Bangih
Masuak ka Rao Mapat Tunggua
Lapeh ka sialang balantak basi
Dari taratak aia itam
Hinggo aia babaliak mudiak
Sampai ka durian ditakuak rajo
Lapeh ka buayo putiah daguak.[10]

Pengertiannya sebagaimana yang diuraikan Idrus Hakimy Datuk Rajo Penghulu; dari ombak nan badabuo maksudnya, daerah pantai barat yaitu Sumatera Barat sekarang; sampai ka sikilang aia bangih yang meliputi daerah-daerah yang terletak di sekitar Pasaman Timur seperti, Air Bangis, Ampalu, Cubadak, dan Simpang Tonang. Daerah-daerah tersebut berdekatan dengan Sibolga (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); masuak ka Rao Mapat Tunggul adalah daerah disekitar Rao (Pasaman Timur) yang berbatasan dengan Muara Sipongi (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); dan lapeh ka sialang balantak basi yaitu, daerah yang terletak di sekitar Gunung Mas, dan Gunung Sailan yang berbatasan dengan daerah Pasia Pangaraian, Riau.
Selanjutnya dari taratak aia itam, adalah daerah di sekitar Bangkinang (Kabupaten Kampar, Riau); hinggo aia babaliak mudiak yakni, daerah pesisir sebelah Timur Pulau Sumatera (dalam Propinsi Riau), yang airnya berbalik ke hulu waktu pasang naik. Daerahnya adalah Teluk Kuantan, Lubuk Jambi, Rengat, Basrah, Kuala Tungkal, dan Pangian; sampai ka durian ditakuak rajo, ialah daerah-daerah yang terletak dalam wilayah Propinsi Jambi, sebelah barat meliputi daerah Muaro Bungo, Muaro Tebo, dan Muaro Tembesi; lapeh ka buayo putiah daguak, daerah yang terletak di sekitar Indropuro (Pesisir Selatan) yang berbatasan dengan daerah Propinsi Bengkulu sebelah utara.[11]
Daerah utama Propinisi Sumatera Barat berada di wilayah budaya Minang Kabau seperti yang dijelaskan di atas. Berukuran 42.297,30 kilometer persegi, yang meliputi daerah daratan Pulau Sumatera seluas 35.490,30 kilometer persegi, dan daerah daratan Kepulauan Mentawi seluas 6.807,00 kilometer persegi. Kepuluan Mentawi mempunyai empat pulau utama, yaitu: Pulau Siberut; Pulau Sipora; Pulau Pagai Utara dan; Pulau Pagai Selatan.[12] Selain itu, daerah Minang Kabau juga dilalui oleh jajaran Bukit Barisan. Wilayah etnis Minang Kabau ini terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, bukit dan gunung, baik gunung yang pasif maupun yang aktif (berapi).[13]
Keragaman tinggi daerah tersebut dapat dilihat dari letak ketinggian ibukota kabupaten propinsinya dari permukaan laut.[14] Di samping dataran tinggi Bukit Barisan yang membentang dari utara ke selatan di daerah Sumatera Barat, setidaknya terdapat 19 gunung (G).[15] Tidak itu saja, Alam Minang Kabau kaya akan sungai besar maupun kecil yang secara umum hulunya berasal dari sejumlah gunung-gunung yang telah disebutkan,[16] dan terdapat empat danau besar dan setidaknya satu danau kecil.[17]
Dalam Tambo Adat Minang, secara geografis dijelaskan Alam Minang Kabau terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan Luhak nan Tigo (Luhak yang Tiga) dan Rantau. Luhak nan Tigo terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh yang terletak di pedalaman. Oleh karena itu, disebut juga darek (darat). Darek merupakan kawasan pusat atau inti Minang Kabau. Sedangkan rantau adalah kawasan pinggiran, daerah yang berbatasan dengan dan mengelilingi kawasan pusat tersebut. Ketiga luhak ini terletak di dataran tinggi yang membentang antara Bukit Barisan membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera.
Luas daerah Minang Kabau kurang dari 3 persen dari total luas Indonesia. Kecuali kawasan pantai, sebagian besar kawasan Minang Kabau terletak pada ketinggian sekitar 1.500 kaki di atas permukaan laut,[18] yang sebagian besar nagari-nagarinya terletak di daerah yang dikelilingi oleh tiga gunung yaitu: Merapi; Singgalang dan; Sago. Luasnya 42.000 kilometer persegi dan merupakan 11 persen dari luas Pulau Sumatera secara keseluruhan.[19]
Penduduknya menyebar ke wilayah pinggiran yang kemudian disebut rantau. Pada mulanya rantau merupakan tempat pemukiman orang Minang Kabau. Kemudian rantau menjadi wilayah kedua Alam Minang Kabau yang terpisah dari daerah asal. Namun tetap menghubungkan diri dengan negeri asal. Daerah sepanjang aliran sungai yang mengalir ke pantai timur disebut rantau timur. Daerah dataran rendah yang sempit dan membujur sepanjang pantai barat Sumatera Barat disebut rantau pesisir yaitu, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan Indrapura. Di sebelah utara Luhak Agam terletak rantau Pasaman, terdiri dari: Rao; Lubuk Sikaping; Portibi dan; Air Bangis.
Daerah rantau bagian selatan berbatasan dengan Kerinci, terletak Alahan Panjang, Sungai Pagu dan Muara Labuh. Kedudukannya menjadi penting sebagai pintu gerbang penghubung Minang Kabau ke dunia luar karena terletak di daerah pinggiran laut. Dengan demikian, konsep “Alam Minang Kabau” merupakan simbol hubungan yang erat antara kawasan inti Minang Kabau dengan kawasan rantau.
Perlu diingat bahwa Alam Minang Kabau mengandung tiga pengertian: Pertama, sebagai kesatuan lingkungan alam (geografi); kedua, kesatuan cultural dan; ketiga, kesatuan sosiologis, sebagai kesatuan ujud interaksi antara dua kawasan Alam Minang Kabau yang tumbuh dan berkembang mengikuti dinamika sejarahnya. Ketiga hubungan ini dapat dilihat dalam hubungan politik dan bentuk hubungan dagang, ikatan politis dan hubungan perdagangan.[20]
Pulau Sumatera yang dibelah dua oleh garis khatulistiwa, yaitu dititik paling utaranya terbentang jalan raya niaga ke India sampai ke dunia perdagangan Laut Tengah yakni, kawasan yang sejak berabad-abad lamanya pernah menjalin hubungan perdagangan dengan Sumatera. Kerajaan-kerajaan besar juga terdapat di pulau ini seperti, kerajaan Maritim Sriwijaya, Melayu dan Aceh.
Merantau dan persaingan merupakan ciri khas kehidupan kerajaan-kerajaan tersebut, dan penduduknya memiliki tingkat mobilitas individual yang tinggi yaitu, melakukan perjalanan jauh untuk berniaga, atau suatu waktu melakukan penjarahan, menjadi bajak laut. Dengan demikian, Sumatera secara historis merupakan pulau dengan penduduk gemar berdagang dan dinamis, menjadi arena percaturan politik dunia internasional atau persaingan prestasi individual. Orang Minang Kabau di Sumatera Barat khususnya menjadi pewaris terhormat dari tradisi yang sudah sangat tua ini.[21] Itu juga barangkali yang membuat Usman Pelly memandangnya sebagai misi budaya, yang menyebabkan orang Minang Kabau terkenal di rantau sebagai makhluk ekonomi yang ulet.[22]

D.    Islam di Minang Kabau
Islam masuk ke daerah Minang Kabau diperkirakan sekitar abad ke-7 Masehi.[23] Pendapat lain ada juga yang mengatakan pada abad ke-13.[24] Untuk menyatukan pendapat yang berbeda, diadakanlah seminar beberpa kali. Di antaranya pada tahun 1963 di Medan, tahun 1969 di Aceh, dan terakhir pada tahun 1980 di Padang. Hasil seminar diperkuat dengan berbagai literatur, dan para sejarawan sepakat menyatakan bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur: Pertama, melalaui jalur dagang. Karena daerah Minang Kabau selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan, juga merupakan penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera yaitu, lada dan pala.
Pedagang Persia dan Gujarat adalah salah satu saudagar yang instens melakukan hubungan dagang dengan pedagang Minang Kabau, terutama di bagian timur. Jalur yang ditempuh adalah Sungai Kampar Kanan, Kampar Kiri, Aliran Sungai Batang Hari dan Sungai Dareh. Pada dasarnya mereka telah melakukan interaksi ini sejak abad ke-7 M. Sehubungan dengan itu, pada umumnya mereka juga telah memeluk agama Islam sekaligus berperan sebagai da’i. Ini menunjukan bahwa penyiaran Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum terencana dan terprogram.
Dalam konteks demikianlah banyak dari tokoh-tokoh Minang tertarik dengan agama yang mereka anut, apalagi praktik hidupnya. Salah satu yang mendorong dan mudahnya mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana dan mudah untuk dipahami. Lagi pula budaya dan falsafah adat yang dianut, dan sifatnya yang terbuka menambah suasanan menggembirakan bagi perkembangan Islam di wilayah itu.
Penyiaran Islam pada periode ini sempat terhenti karena terhalang oleh tindakan Dinasti Cina T’ang yang merasa kepentingan ekonominya di Minang Kabau timur terancam oleh Khalifah Umayyah.[25] Keadaan ini berlangsung kurang lebih 400 tahun. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, pengembangan Islam pada dekade ini dilakukan melalui pendekatan kultural, yaitu sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Minang.
Kedua, penyiaran Islam pada tahap ini berlangsung pada saat pesisir barat Minang Kabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522). Sebagai umat yang terlebih dahulu masuk Islam, para pedagang Aceh juga berperan sebagai mubaligh. Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di daerah pesisir, di mana mereka berdagang terutama wilayah di bawah pengaruh Aceh (Samudera Pasai). Sejak itu peng-islam-an Minang Kabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Ini berlangsung pada abad ke-15 M.[26]
Lain dari itu, seorang putra Minang Kabau, Burhanuddin, putra Koto Pandang Pariaman, telah pula masuk Islam. Ia kemudian pergi ke Aceh menuntut ilmu keislaman kepada Syekh Abdur Rauf. Sekembalinya dari Aceh, ia secara intensif mulai mengajarkan Islam di daerahnya, terutama di Ualakan. Ternyata apa yang ia usahakan disambut baik oleh masyarakat sekitarnya, bahkan muridnya juga berdatangan dari berbagai pelosok Minang Kabau.
Dalam waktu yang relatif pendek, Ulakan menjadi ramai dikunjungi masyarakat untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. Sejak itu sampai sekarang tempat ini masih ramai dikunjungi umat Islam dari berbagai penjuru tanah air, terutama pada bulan Shafar. Tidak heran, jika melalui murid-murid Burhanuddin Islam berkembang sampai ke daerah darek (dataran tinggi). Sehubungan dengan itu muncul pepatah adat yang mengatakan: Syarak mandaki adat menurun.[27] Artinya, Islam mulai dikembangkan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman, sementara adat berasal dari darek baru kemudian dikembangkan ke daerah rantau, termasuk pesisir.
Ketiga, Islam dari pesisir barat terus mendaki ke daerah darek. Pada periode ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minang Kabau masih menganut agama Budha. Namun demikian, sebagian besar masyarakat Minang Kabau telah menganut Islam. Pengaruh tersebut begitu tampak di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu saja untuk memeluk Islam.[28]
Pertengahan abad ke-17 semua pusat perdagangan emas dan desa-desa yang sebahagian besar penduduknya pedagang emas telah memeluk agama Islam. Sumpur Kudus lalu mendapat sebutan sebagai “Mekkah Darat.” Sedangkan pusat-pusat emas lainnya seperti, Talawi dan Padang Ganting juga menjadi muslim. Demikian pula pusat-pusat Hindu-Budha di sekitar Saruaso dan Pagaruyung yang telah memeluk Islam, ketika keluarga raja pindah di sana.
Bagi Dataran Tinggi Minang Kabau, masih ada jalan lain bagi Islam untuk memasuki daerah ini. Jalan tersebut adalah, jalan yang sesuai baik bagi pemikiran Islam maupun pemikiran Minang Kabau. Dengan jalan itu juga, desa-desa terlibat dalam pranata Islam secara keseluruhan meskipun desa itu sendiri mungkin tidak menjadi masyarakat muslim. Satu segi penting dalam kehidupan desa Minang Kabau itu adalah surau[29] yaitu, rumah yang didiami para pemuda setelah akil baliq.[30]
Desa-desa pertanian yang banyak jumlahnya di Minang Kabau dan tidak berkaitan dengan perdagangan emas, hubungan mereka dengan Islam ada dua macam: Pertama, afiliasi agama baru ini dengan sistem keluarga dan suku dan; kedua, hubungan Islam dengan masyarakat desa secara keseluruhan. Hubungan kedua ini lebih sukar dilaksanakan. Karena kehidupan pertanian berlanjut dalam irama menanam dan menuai. Sistem yang sangat sejalan dengan menyenangkan roh-roh dan berkonsultasi dengan cenayang (pawang).
Tampaknya Islam tidak bisa memberikan sesuatu di sini. Maka tidak mengherankan, jika sampai pada awal abad ke-19 masih ada desa-desa yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan kepercayaan muslim. Jadi, Islam tidak berdampak pada tingkat masyarakat, melainkan hanya pada tingkat suku.[31] Adapun yang disebutkan dengan Sumpur Kudus, Padang Ganting dan Saruaso, ini lah yang natinya dikenal dengan “Rajo Tigo Selo” (Raja Tiga Sila). Artinya, tiga orang raja yang bersila atau bertahta yaitu, Raja Adat di Buo, Rajo Ibadat di Sumpur Kudus, dan Rajo Alam di Pagaruyung. Raja Tiga Sila ini merupakan sebuah institusi tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo[32] atau “Yang Dipertuan” yaitu yang di “Tuankan” bersama-sama.[33]
Mereka juga berasal dari satu keturunan yang sama. Mereka bertiga dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minang Kabau ditafsirkan sebagai satu raja. Itulah sebabnya sejarah mencatat bahwa, raja Melayu sewaktu didatangi Mahisa Anabrang dari Singosari yang memimpin ekspedisi Pamalyu bernama Tribuana Raja Mauli Warmadewa. Arti kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal dari keluarga Mauli Warmadewa.[34]
Raja Adat dan Raja Ibadat dapat memutuskan dengan sendiri segala urusan yang ditugaskan kepada mereka. Hanya saja ketika terjadi kusut yang tidak dapat diselesaikan dan keruh yang tidak bisa dijernihkan, barulah dibawa kepada Raja Alam sebagai “pusat jala pumpunan ikan.” Namun, ketika bagindapun tidak dapat memutuskan hal yang sulit itu sendirian, maka baginda haruslah bermusyawarah[35] terlebih dahulu dengan “Basa Empat Balai” (Besar Empat Balai) atau orang besar berempat, yang mempunyai tugasnya masing-masing.[36]
Adapun keputusan kerapatan itu, yang dihadiri oleh raja Alam itulah keputusan tertinggi dan nantinya akan disampaikan kepada rakyat di teluk dan rantau dengan surat. Sedangkan di dalam nagari dilewakan dengan memukul tabuh. Oleh sebab itu, yang sebenarnya raja ialah “keputusan mufakat,” dan Raja Alam sendiri tidaklah memiliki titah tertinggi. Keputusan-keputusan yang demikian hanyalah yang berkenaan dengan umum. Di masa itu setiap nagari di Minang Kabau yang lebih kurang 500 banyaknya, mereka merdeka menyusun adat-istiadat dan perbelanjaannya sendiri-sendiri. Tentunya di bawah pimpinan penghulu masing-masing dari setiap suku, baik menurut Koto Piliang maupun Bodi Caniago.[37]
Dengan demikian, tiap-tiap nagari pada umumnya dibiarkan berdiri sendiri. Sedikit sekali terjadi, kalaupun ada, hubungan di antara nagari-nagari yang bertetangga sering bermusuhan satu sama lainnya. Maka, dalam hubungan inilah kiranya Taufik Abdullah menganggap posisi kekuasaan federal di Pagaruyung sebagai “suatu lembaga sakral yang selalu memelihara ekwilibrium di antara nagari-nagari yang bermusuhan.”
Sedangkan penghulu yang berkuasa di nagari, tidaklah mewakili raja tetapi mewakili rakyat dari nagari itu sendiri. Bahkan luhakpun tidaklah merupakan suatu kesatuan politik. Tetapi semata-mata perpaduan wilayah adat dari sekelompok nagari. Kenyataan ini yang telah menyebabkan banyak dari penelitian kebudayaan Minang Kabau berkesimpulan, bahwa Minang Kabau dalam struktur sosial-politiknya mirip dengan negara-negara kota dalam jaman Yunani kuno. Di mana setiap nagari bertindak lebih kurang seperti republik mini di bawah pengawasan nominal dari pemerintahan federal.[38]
Adapun yang dinamakan dengan Koto Piliang adalah, ia mengarah pada Kerajaan Aristokrasi. Kebesarannya empat tingkat yaitu, Keempat Suku, Penghulu Pucuk, Datuk-datuk Adat dan Datuk-datuk Ibadat. Gelar pusaka masing-masing tidak boleh keluar dari garis yang ditentukan dalam suku, dalam istilah Minang disebut dengan “titik dari ateh”. Sedangkan Bodi Caniago memakai dasar kata mufakat (dalam istilah Minang disebut dengan “mambasuik dari bumi”) yang diputuskan oleh orang “Empat Jenis” yaitu, Penghulu-penghulu, Manti, Dubalang dan Imam Khatib (tuanku-tuanku), seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pada zaman “jahiliyah” (Budha Bairhawa) raja Minang Kabau hanyalah “lambang.” Sekali-kali tidak terdapat feodalisme. Setinggi-tingginya hanya aristokrasi yang terdapat dalam pemerintahan Koto Piliang. Maka setelah Islam mengambil peran dalam menyusun adat, susunan itu dipelihara dalam bentuk yang baru.[39]
Jadi secara historis, sebelum masuknya berbagai agama ke Minang Kabau, masyarakat di samping mentaati peraturan-peraturan adat juga telah menganut kepercayaan pra-agama, baik dalam bentuk animisme maupun dinamisme, hingga mereka menerima pengaruh agama dari luar. Agama yang lebih dulu memasuki kepulauan Nusantara adalah Hindu dan Budha. Pada abad ke-6 atau ke-7 M. Kedua agama tersebut telah berada di pulau Sumatera.[40]
Memang, tidak banyak yang bisa ketahui tentang zaman Hindu-Budha di Minang Kabau. Meskipun demikian telah dipastikan bahwa, pada tahun 1356 Adityawarman mendirikan biara Budha di dekat Bukit Gombak. Rupanya biara itu menjadi tempat berkumpul para pemuda untuk mempelajari pengetahuan suci. Contoh ini tentu saja merupakan pemecahan yang ideal untuk masalah sosial yang sangat jelas.
Oleh sebab itu, di desa-desa tertentu Islam menyusun sarana belajar atas dasar surau dari zaman pra-islam. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa, pada abad-abad awal masuknya Islam, persaudaraan muslim (tarekat)[41] muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan umum untuk bisa berhubungan lebih dekat dengan Tuhan.
Cara tersebut dianggap lebih baik daripada hukum-hukum kering yang disampikan oleh pakar Islam resmi. Penganut persaudaraan ini disebut juga dengan sufi. Mereka menekuni tariqoh (bahasa Arab untuk ‘jalan, cara’) yang ditetapkan oleh seorang guru atau syekh, orang yang mereka pelajari ilmunya. Tarekat dan sekolahnya bisa masuk dalam sistim surau yang sudah ada di Minang Kabau tanpa pergesekan apa pun.[42]
Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah Melayu-Indonesia.[43]
Selain itu, nilai-nilai dan norma adat Minang Kabau yang terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kebahasaan seperti pepatah-petitih, pantun, pribahasa, atau bahkan cerita-cerita lisan yang diturunkan dan disebarkan secara lisan,[44] sebelum Islam merambah masuk ke Minang Kabau, telah pula mempunyai persamaan tentang ajaran dalam bidang, yaitu sama-sama mengutamakan budi pekerti yang baik, dan sifat malu di antara sesama seperti, kata pepatah adatnya “Mamakai raso jo pariso, manaruah malu jo sopan” (Memakain rasa dengan periksa, menaruh malu dengan sopan).
Jika keempat sifat (raso, pariso, malu dan sopan) ini telah hilang dari dalam diri seorang Minang Kabau, maka jatuhlah martabatnya kepada martabat ‘hewani.’ Orang yang demikian disebutkan dalam ungkapan adat, indak tahu diampek (tidak tahu dengan yang empat). Artinya, tidak berbudi pekerti yang baik, tidak memiliki raso, pariso, malu dengan sopan.[45]
Berkaitan dengan rasa malu di atas, ada hadist yang mengatakan:
عَنْ اَبِىْ مَسْعُوْدٍ عَقْبَةَ بْنِ عَمْرِوْ الاَنْصَارِيِّ البَدْرِيِرَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ مِمَّا اَدْرَكَ النَّامُى مِنْ كَلَ مِ النُّبُوَّةِ اْلاُوْلَى، اِذَالَمْ تَسْتَعْ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.
Artinya: “Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw., bersabda; ‘Perkataan (sabda Nabi paling pertama yang dikenal atau diketahui manusia adalah, ‘Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad).

اِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ اْلاِسْلَامِ اْحَيَاءُ.
Artinya: “Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR. Imam Malik).[46]

Dalam hal ini, masyarakat Minang Kabau menyakini bahwa adat dengan sendirinya mengandung nilai-nilai hukum alam (sunnatullah), dan karenanya tidak mungkin bertentangan dengan Islam.[47] Dan setelah Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut, maka masyarakat Minang Kabau juga menyakini bahwa di dalam sistem sosial kemasyarakatannya, Islam dan adat telah terintegrasi dengan baik. Ini tampak dalam adagium Adat Basandi Syarak,[48] Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Sebagai perwujudan dari adagium ABS-SBK tersebut, muncul pula pepatah-petitih lain yang mengiringinya, Syarak Mangato, Adat Mamakai, artinya segala bentuk ajaran agama khususnya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi diterapkan melalui adat. Pepatah lainnya “Syarak Batalanjang, Adat Basisampiang.” Artinya, apa yang dikatakan oleh agama adalah tegas dan terang dan transparan, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksanaannya yang sebaik-baiknya. Pepatah lain, Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim. Artinya, adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat.[49]
Diakui Fathurahman, bahwa hubungan Islam dan adat di Minang Kabau memang sangat kompleks, dan dalam hal-hal tertentu tidak jarang terjadi konflik dan ketegangan di antara keduanya. Kendati demikian, seperti dikemukakan sejarahwan Taufik Abdullah mislanya, kalau pun terjadi konflik antara Islam di satu sisi dengan adat di sisi lain, hal itu tidak dapat dipandang sebagai bentuk ketegangan antara dua “pandangan dunia” yang berbeda, melainkan sebagai satu kesatuan dalam sebuah sistem secara keseluruhan.[50]
Keterkaitan antara adat dan Islam di Minang Kabau, sebagiamana yang ditulis Buya Hamka bahwa “dalam peraturan Hukum Fiqih Islam, maka “uruf dan adat” di setiap negeri (mana yang tidak melanggar peraturan Islam) diakui sebagai suatu kenyataan. Islam mendapati suatu negeri yang telah teratur. Dengan kedatangan Islam ia menambah kokohnya peraturan yang telah ada. Oleh karena itu, susunan adat pemerintahan Koto Piliang dan Bodi Caniago dibiarkan tetap, serta lambang kebesaran orang Minang Kabau yaitu, nama Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan tetap terpelihara.”[51]
Tahap yang dilalui dalam rangka mewujudkan persentuhan antara adat dan syara’ sehingga keduanya berjalan secara terpadu. Menurut Syarifuddin setidaknya terdapat tiga tahap. Pertama, adat dan syara’ berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minang Kabau menjalankan agamanya dalam bidang aqidah dan ibadah, tetapi tetap mematuhi norma-norma adat, khususnya dalam aspek kehidupan sosial. Sebagaimana bunyi pepatah: Adat basandi alur dan patut, syara’ basandi dalil (Adat berjalan sesuai dengan kepatutan, syara’ berjalan berdasarkan Kitabullah).
Kedua, antara adat dan syara’ satu sama lain saling menuntut hak tanpa menggeser kedudukan pihak lain. Sebagaimana bunyi pepatahnya: “Adat basandi syara’, sayara’ basandi adat.” Artinya, antara adat dan syara’ saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Berdasrkan pemaknaan ini, seorang Minang Kabau pada waktu melaksankan ajaran agama dengan sendirinya telah melaksanakan tuntunan adat. Begitu pula pada waktu melaksanakan ajaran adat, juga telah mengerjakan agama. Hal ini disebabkan karena terpadunya adat dengan agama atau adat menyatu dalam agama.
Ketiga, ditandai dengan terjadinya konflik antara pemuka agama yang menginginkan pemurnian Islam dengan pemuka adat yang ingin mempertahanakan nilai-niai adat seutuhnya. Konflik terjadi karena timbulnya rasa tidak puas di antara pemuka agama terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang dianggap belum murni dari praktek-praktek di luar ajaran, seperti animism dan dinamisme. Sehingga secara kualitatif ajaran agama belum dijalankan secara murni sekalipun secara kuantitatif pengiukut Islam sudah banyak.
Sikap toleransi berlebihan yang diberikan oleh sebagian pemuka agama terhadap pemuka adat berperan juga terjadinya konflik. Gerakan pemurnian Islam ini lah yang dikenal dengan sebutan gerakan Paderi. Konflik berakhir dengan suatu konsensus yang dicapai antara pemuka adat dengan pemuka agama, kemudian dikenal dengan Piagam Bukik Marapalam yang esensinya adalah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara Mangato Adat Mamakai” (Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabulah, Syara’ Mengatakan, Adat Memakai). Melalui konsensus ini, hukum adat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sejauh tidak bertentangan dengan hukum syara’.[52]
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulannya konsep tentang Tuhan secara epistemologis dalam filsafat adat Minang Kabau harus dilihat dalam dua rentang waktu, yaitu sebelum dan sesudah Islam masuk ke wilayah Minang Kabau. Sebelum Islam masuk, konsep Tuhan dimaknai dalam pengertian agama budaya melalui pengalaman empiris, yaitu alam terkembang jadi guru.[53]
Dalam keyakinan mereka setelah berpulang kerahmatullah, mereka mengibaratkannya dengan bunyi pepatah, hiduik dikanduang adat, mati dikanduang tanah (hidup dikandung adat, mati dikandung tanah).[54]  Setelah menganut kepercayaan agama Islam, keyakinan mereka kepada Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak adanya, sehingga eksistensi Tuhan berada pada posisi tertinggi. Ini bisa kita dapatkan dari redaksi pepatah adat, hiduik baraka, mati bariman (hidup berakal, mati beriman).[55]
Dengan begitu, dikenalah ungkapan pepatah adat yang mengatakan: “Calak alah tajam pun ado, tingga dibawa manyampaikan, syarak alah adat pun ado, tingga di awak mamakaikan” (Calak sudah, tajam pun ada, tinggal dibawa menyampaikan, syarak sudah adat pun ada, tinggal kita yang memakainya).[56] Artinya, setelah terjadi peleburan adat ke dalam agama Islam di Minang Kabau, adat Minang Kabau tinggal memakai saja. Karena antara adat dan Islam ada kesesuaian. Karena adat, setelah Taraktat Marapalam[57] tunduk kepada syarak, maka prinsip adatpun sama dengan prinsip syarak: “nan elok diambiak, nan buruak dibuang” (yang baik diambil, yang buruk dibuang), walaupun darimana datangnya.[58]
E.     Adat Wirausaha Masyarakat Minang Kabau
Sebelum masuk pada pembahasan adat wirausaha masyarakat Minang Kabau, ada baiknya terlebih dahulu peneliti uraikan adat menurut masyarakat Minang Kabau. Bagi masyarakat Minang Kabau adat adalah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Sebaliknya ada adat yang tidak dapat berubah, seperti kata mamang; “kain dipakai usang, adat dipakai baru” (kain dipakai usang, adat dipakai baru). Maksudnya, sebagaimana pakaian bila dipakai terus akan usang, sedangkan adat yang dipakai terus menerus senantiasa awet.
Oleh karena ada adat yang tetap tidak berubah di samping yang berubah, maka mereka membagi adat tersebut ke dalam empat kategori, yaitu: Adat yang Sebenarnya Adat;[59] Adat Istiadat;[60] Adat yang Diadatkan[61] dan; Adat yang Teradat.[62]


[1] Nadra. 2006. Merekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University Press. hal 11-12.
[2] Naim, Mochtar.  1973. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Diterjemahkan oleh Rustam St. R. Tinggi dan Antasari. 1984. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 59.
[3] Nadra. 2006. Merekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University Press. hal 14.
[4] Sjarifoedin Tj.A, Amir. 2011. Minangkabau dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: PT Gria Media Utama. hal. 43-48.
[5] Hadler, Jefry. 2008. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Diterjemahkan oleh Samsudin Berlian. 2010. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 18.
[6] Jamal,  Mid. 1982. Manyigi Tambo Alam Minangkabau: Studi Perbandingan Sejarah. Bukittinggi: CV. Tropik. hal. 16.
[7] Ilyas, Abraham. 2010. Nan Empat; Dialektika, Logika, Sistematika Alam Terkembang. hal. 48-49.
[8]1) Kabupaten Agam, ibukotanya Lubuak Basuang; 2) Pasaman, ibukotanya Lubuk Sikaping; 3) Limo Puluah Koto, ibukotanya Payakumbuah; 4) Tanah Datar, ibukotanya Batusangkar; 5) Padang Pariaman, ibukonya Pariaman; 6) Solok, ibukotanya Solok; 7) Sawah Lunto atau Sijunjuang, ibukotanya Muaro Sijunjuang; dan 8) Kabupaten Pesisir Selatan ibukonya Painan.
[9]1) Kota Madya Bukittinggi; 2) Kota Madya Padang Panjang; 3) Kota Madya Padang; 4) Kota Madya Solok; 5) Kota Madya Payakumbuh dan; 6) Kota Madya Sawah Lunto.
[10] Sastra, Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik.” Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada. hal. 41-42. Tidak diterbitkan.
[11] Datuk Rajo Penghulu, Idrus Hakimy. 1984. Pokok-pokok Pengetahuan Adat  Alam Minangkabau. Cet. Ke-2. Bandung: Remadja Karya CV. hal. 20-21.
[12] Sastra, Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada. hal. 45. Tidak diterbitkan.
[13] Amir, Adriyetti. dkk. 2006. Pementasan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press Kampus UNAND Limau Manis. hal. 10-11.
[14] Kota Bukittinggi terletak pada ketinggian 925 meter dari permukaan laut; Kota Padang Panjang 780 meter; Kota Payakumbuh 513 meter; Kota Batusangkar 460 meter; Kota Lubuk Sikaping 450 meter; Kota Solok 190 meter; Kota Sijunjuang 160 meter; Kota Painan 5 meter; Kota Pariaman 2 meter; dan Kota Padang 2 meter dari permukaan laut.
[15] G. Talamau (2.912 meter), G. Gadang (2.060 meter), G. Kalabu (2.172 meter), dan G. Pasaman (2.190 meter) terdapat di Kabupaten Pasaman; G. Merapi (2.891 meter), G. Singgalang (2.877 meter) terdapat di Kabupaten Agam; G. Tandikek (2.438 meter) terletak di Kabupaten Padang Pariaman; G. Talang (2.572 meter)a dan G. Pantai Cermin (2.690 meter) terletak di Kabupaten Solok; G. Sago (1.863 meter), G. Mas (2.171 meter), G. Silampu (1.036 meter), G. Bukit Gadang (2.153 meter) dan G. Dingin (1.957 meter) terdapat di Kabupaten Limo Puluah Kota; G. Rasan (2.585 meter), G. Mande Rubiah (2.039 meter), G. Bujang Juaro (2.430 meter), G. Gantang (1.377 meter), dan G. Gadang (1.963 meter) terdapat di Kabupaten Pesisir Selatan.
[16] Sungai tersebut bermuara ke pantai barat atau ke pantai timur Sumatera. Beberapa di antaranya adalah Sungai Batang Kampar, Sungai Dareh, Batang Sumpur, Batang Sikalang, Batang Masang yang terdapat di Kabupaten Pasaman; Batang Agam, Batang Sianok dan Batang Mangau di Kabupaten Agam; Batang Mahat, Batang Kampar dan Batang Agam di Kabupaten Limo Puluah Kota; Batang Gadih dan Batang Karilan Gadang di Kabupaten Tanah Datar; Batang Mangau dan Batang Anai di Kabupaten Padang Pariaman; Batang Kuranji dan Batang Arau di Kota Padang; Batang Palangki, Batang Gumanti, dan Batang Hari di Kabupaten Solok; Batang Kapas, Batang Sutantiah dan Batang Tapan di Kabupaten Pesisir Selatan; Batang Palangki, Batang Pangean dan Batang Hari di Kabupaten Sawah Lunto atau Sijunjuang.
[17] Danau Maninjau (98 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Agam; Danau Singkarak (110 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar; Danau Diatas (31,50 kilometer persegi), dan Danau Dibawah (14 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Solok. Sastra, Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Komflik”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada. hal. 48-50. Tidak diterbitkan. Dan Danau Kandih di Sawah Lunto. Harian Umum; Rakyat Sumbar Utara. 4 Agustus 2010. “Rakyat Sumbar Timur.” hal. 4.
[18] E. Graves, Elizabeth. 1981. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern-Respons terhadap Kolonial Belanda Abada XIX/XX. Diterjemahkan oleh Novi Andri, dkk. 2007. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.  hal. 1-2.
[19] Datuk Kando Marajo, Syafnir Aboe Nain. 1993. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-2. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 13-14.
[20] Datuk Kando Marajo, Syafnir Aboe Nain. 1993. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-2. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 14-15.
[21] E. Graves, Elizabeth. 1981. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern-Respons terhadap Kolonial Belanda Abada XIX/XX. Diterjemahkan oleh Novi Andri, dkk. 2007. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.  hal. 1.
[22] Dt. Bandaro, H. CH. N. Latif, dkk. (ed.). 2004. Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi Sosialisasi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda. Bandung: CV. Lubuk Agung. hal. 85.
[23] Hamka. 2010. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 58-59. Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. hal. 31.
[24] Pahlawan Kayo, RB. Khatib dan Marjohan. 2010. Muhammadiyah Minangkabau (Sumatera Barat) dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 11.
[25] Lebih jelasnya lihat Hamka. 2010. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 59-61. A.A. Navis. 1984. Layar Terkembang jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. hal. 25. Azyumardi Azra. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. hal. 26-39. M. C. Ricklefs. 1981,1993, 2001, 2008. Sejarah Indonesia Modern. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Serambi. 2010. Cet. III. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. hal. 4-5. Abdul Karim. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. hal. 42. Lihat juga Amir. MS. 2006. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Pt. Mutiara Sumber Widya. Cet. Ke-V. hal. 128.
[26] Bakhtiar, dkk. 2005. Ranah Minang di tengah Cengkraman Kristenisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal. 16-17.
[27] Hamka. 2008. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakrta: Suara Muhammadiyah. hal. 148-149. Lihat juga Christine Dobbin. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 185-245.
[28] Bakhtiar, dkk. 2005. Ranah Minang ditengah Cengkraman Kristenisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal. 18.
[29] Hadler, Jeffrey. 2008. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformise Agama dan Kolonialisme di Minang Kabau. Diterjemahkan oleh Samsudin Berlian. 2010. Jakarta: Freedom Institute. hal. 145, 152-153, 192-194, 169. Deliar Noer. 1973. Gerakan Modern Islam di Indonesia1 900-1942. Diterjemahkan oleh Deliar Noer. 1988. Cet. Ke-IV. Jakarta: LP3S. hal. 15-16.
[30] Dobbin, Chistine. 1983. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 191.
[31] Dobbin, Chirtine. 1983. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 190-191.
[32] Dt. Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia. hal. 75.
[33] Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 6.
[34] Dt. Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia. hal. 75.
[35] Karena di Minang Kabau tidak berlaku keputusan suara terbanyak, melainkan bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat (musyawarah dan mufakat). Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 8. Atau yang dikenal dalam pepatah Yunani, Fox Populi Fox Dei. Ini juga tidak berlaku bagi masyarakat Minang Kabau. Datuak, Azmi. (ed.). 2008. Polemik Adat Minangkabau di Internet. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan Indonesia dan Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau (LAKM). hal. 138.
[36] Pertama, Bandaro (Bendahara) atau “Tuan Titah” di Sungai Tarab. Gelar kebesarannya “Pamuncak Koto Piliang”, yang kedudukannya hampir sama dengan Perdana Menteri. Gelar Bendahara ini pun terdapat dalam Kerajaan Melayu Islam Malaka; kedua, Mangkudum di Sumanik, dengan julukan “Aluang Bunian Koto Piliang.” Tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan seluruh rantau, dan kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minang Kabau; ketiga, Indomo di Suruaso, dengan julukan “Payuang Panji Koto Piliang.”Tugasnya menjaga perjalanan adat istiadat supaya berlaku “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh lupa” dalam seluruh Alam Minang Kabau; keempat, Tuan Qadhi di Padang Ganting, dengan julukan “Suluh Bendang Koto Piliang.” Betugas menjaga perjalanan Syara’ dan Agama. Adakah berlaku menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul, berjalan sunnat dan fardhu di antara halal dengan haram.
Di samping “Basa Ampek Balai” terdapat juga seorang besar yang sama kedudukannya dengan mereka, dan kalau perlu beliaupun turut dalam kerapatan memutuskan hal yang sulit-sulit. Terutama jika berkenaan dengan “tohok parang,” yaitu “Tuan Gadang” (Tuan Besar) di Batipuh. Beliau adalah Panglima Besar peperangan. Beliau tidak masuk Basa Ampek Balai tetapi, martabatnya sama dengan julukan “Harimau Campo Koto Piliang.” Dt. Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia. hal. 77.
[37] Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. Ke-IV. hal. 6-7.
[38] Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Diterjemahkan oleh Rustam St. R. Tinggi dan Antasari. 1984. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 64. Nadra. 2006. Rekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University Press. hal. 20.
[39] Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 7.
[40]Kamal, Tamrin. 2005. Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau: Konsep Pembaharuan H. ABD. Karim Amrullah Awal abad ke-20. Padang: Angkasa Raya. hal. 55. Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 70-71.
[41] Lebih jauhnya lihat dalam Oman Fathurahman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group.
[42] Dobbin, Chirtine. 1983. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 192.
[43] Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujjahnya. Menurutnya banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terinci mereka ini sebagai berikut: Pertama, mereka adalah para penyiar Islam pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; kedua, mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai dengan tekat yang mereka anut; ketiga, mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia yang mereka tempatkan ke bawah ajaran Islam, atau yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; keempat, mereka menguasai ilmu megis dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan; kelima, mereka siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah serta unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam. Azra, Azumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII. Bandung: Mizan. hal. 32-33.
[44] Putra, Yerri S (ed.). 2007. Minangkabau Dipersimpangan Generasi. Padang: Pusat Studi Humaniora dan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. hal. 81.
[45] Dt. Rajo Penghulu, Idrus Hakimy. 2004. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Cet. Ke-6. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 36-37.
[46] Al-Basyuni, Syekh Ahmad. 1994. Syarah Hadis: Cuplikan dari Sunah Nabi Muhammad Saw. Diterjemahkan oleh Tarmana Ahmad. Bandung: Trigenda Karya. hal. 129-131.
[47] Ketika Islam masuk ke daerah Minang Kabau, kawasan ini telah tertata rapi dengan adat yang mengatur segala bidang kehidupan manusia, dan menuntut masyarakatnya untuk terikat serta tunduk kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat, adalah budi yang diikuti dengan akal, ilmul alur dan patut sebagai landasan batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk sesuatu hal. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat, yang disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak. Syariat Islam lahir dari keyakinan iman, Islam, Hakikat, dan Makrifat serta Tauhid sebagai dasar bagi setiap Muslim untuk menghadapi realita hidup. Datuk Kando Marajo, Sjafnir Aboe Nain. 2008. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-3. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 31.
[48] Sandi adalah landasan; untuk menjaga kondisi bangunan rumah gadang, maka di setiap tapak tiang-tiangnya dipasang batu minyak yang datar dan keras supaya tegaknya rumah Gadang menjadi mantap. Artinya, rumah diumpamakan adat dan sandi dimisalkan Islam. Karena di Minang Kabau lebih dahulu adat ketimbang agama Islam. Karena Islam baru masuk ke Minang Kabau pada awal abad ke-12 Masehi. Sedangkan di abad ke-3 Masehi, di masyarakat Minang Kabau telah tersusun rapi oleh adat istiadatnya. Dan ini bukanlah pemikiran yang tidak logis bagi bangsa Minang Kabau. Karena apa yang mustahil bagi bangsa lain menjadi mungkin di Minang Kabau. Dikarenakan, kalau proses pembangunan rumah gendung, memang terlebih dahulu pondasi dari bangunan. Tetapi, arsitektur rumah Gadang membuatnya terbalik, yaitu waktu merakit kayu yang sudah berdiri di posisinya masing-masing, maka tonggak-tonggaknya (rumah gadang) sengaja digantung tidak menyentuh tanah. Barulah setelah sempurna tegak kerangka rumah gadang, disusunlah batu picak sebagai pondasi.
[49] Hanani, Silfia. 2002. Suarau: Aset Lokal yang Tercecer. Bandung: Humaniora Utama Press. hal. 50-51.
[50] Putra, Yerri S (ed.). 2007. Minangkabau di Persimpangan Generasi. Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. hal. 60-62.
[51] Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 6.
[52] Yulika, Febri. 2012. Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau. Yogyakarta: Gre Publishing. hal. 34-35.
[53] Ibid, 53.
[54] Zainuddin, Musyair. 2010. Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. hal. 60.
[55]Yulika, Febri. 2012. Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau. Yogyakarta: Gre Publishing. hal. 53.
[56] Dt. Bagindo Azmi. 2008. “Masalah Kedudukan Perempuan (Padusi).” Dalam Azmi Dt. Bagindo, (ed,). Polemik Adat Minangkabau di Internet. Jakarta: yayasan Citra Pendidikan Indonesia dan Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau (LAKM). hal. 38.
[57] Perjanjian antara kaum ninik-mamak, ulama-ulama dan cadiak-pandai serta lainnya, yang menghasilkan pedoman hidup bagi masyarakat Minang Kabau, yaitu Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Alam Takambang Jadi Guru. Ini terjadi setelah selesainya perang Paderi di Minang Kabau (1803-1838). Lihat Muhamad Rajab. 1964. Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Cet. Ke-2. Djakarta: Balai Pustaka.
[58] Iliyas, Abraham. 2010. Nan Empat: Dialektika, Logika, Sistematika Alam Terkembang. Lembaga Datuk Soda. hal. xxvi.
[59] Adat yang Sebenar adat ialah adat yang asli, yang tidak berubah, yang tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas. Kalau dipaksa dengan keras mengubahnya, ia “dicabuik indak mati, diasak indak layua” (dicabut tidak mati, dipindahkan tidak layu). Adat yang lazim diungkapkan dalam pepatah dan petitih ini seperti, hukum alam yang merupakan falsafah hidup mereka.
[60] Adat Istiadat adalah kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat umum atau setempat, seperti acara yang bersifat seremoni atau tingkah laku pergaualan yang bila dilakukan akan dianggap baik dan sebaliknya, tidak apa-apa. Adat ini dalam mamang diibaratkan seperti pohon sayuran yang “gadang dek diambak, tinggi dek dianjuang” (besar karena dilambuk, tinggi karena dianjung). Artinya, adat itu akan dapat tumbuh hanya karena dirawat dengan baik.
[61] Adat yang Diadatkan ialah apa yang dianamakan sebagai undang-undang dan hukum yang berlaku, seperti yang didapati pada Undang-undang Luhak dan Rantau, Undnag-undang nan Duapuluh. Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamang; jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut mati, jika dipindahkan layu), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya.
[62] Adat yang Teradat, ialah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya, seperti yang dimaksud mamang; “patah tumbuh hilang berganti” (patah tumbuh, hilang berganti). Ibarat pohon yang patah karena bencana, maka ia dapat tumbuh lagi pada bekas patahannya. Kalau hilang, diganti oleh pohon lain pada bekas tempatnya yang hilang tersebut. Karena pohon itu dibutuhkan untuk keperluan hidup manusia. Navis. A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Temprint. hal. 88-89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar