SEJARAH ASAL-USUL, NAMA, KONDISI
GEOGRAFIS, DAN ISLAM
DI MINANG KABAU
A.
Sejarah Asal Usul Masyarakat Minang Kabau
Penduduk Sumatera adalah imigran dari Taiwan.
Jalur yang ditempuh adalah, dari Taiwan terus ke Pilipina. Selanjutnya, melalui
Luzon ke Kalimantan, dari Kalimantan ke Sumatera. Kesimpulan ini diambil
Bellwood berdasarkan perbandingan bahasa. Adapun Bluts melakukan penelitian
terhadap 62 bahasa Austronesia di luar Taiwan yang menghasilkan rekonstruksi
200 kata Proto Malayo-Polynesia (PMP). Rekonstruksi 200 kata PMP itu dibandingkan
kembali dengan bahasa-bahasa Western Malayo-Polynesia (WMP), antara lain bahasa
Minang Kabau. Hasilnya bahasa Minang Kabau 50 persen kognat dengan PMP.
Kajian terakhir tentang tanah air orang Melayu
dan asal-usul bahasa Melayu, seperti yang dikemukakan Tadmor yang
menghipotesiskan, bahwa Sumatera bagian tengah atau selatan (SBTS) sebagai
tanah air dan asal-usul bahasa Melayu, bukan di Kalimantan.[1]
Minang Kabau dalam argumentasi Benjamin, jelas termasuk kelompok budaya Melayu,
dan karena itu tidak mungkin berpisah membentuk kelompok sendiri lebih dari
dua-tiga ribu tahun yang lalu.
Sedangkan sistem matrilineal, kemungkinan telah
bermula sebagai hasil berpergiannya sebahagian laki-laki ke daerah-daerah
rantau primordial selama masa-masa ekspansi pertanian pionir, dengan
meninggalkan wanita-wanita di rumah yang menjadi basis dari organisasi
domestik. Akibatnya telah menyebabkan melembaga sistem matrilineal yang
berpuncak dari eratnya hubungan ibu dan anak.[2]
Dalam buku Profil Propinsi Republik
Indonesia: Sumatera Barat, dinyatakan peninggalan prasejarah banyak
ditemukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dan di daerah Solok Selatan. Peninggalan
prasejarah itu berbentuk batu dakon, batu besar berukir, batu besar berlubang,
batu punden, kubur batu, altar, dan yang paling dominan adalah batu berukir.
Berdasarkan peninggalan tradisi megalitik yang
ditemukan di Kabupaten Lima Puluh Kota diasumsikan bahwa, manusia pendukung
kebudayaan tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan Dongson. Kebudayaan itu
dikembangkana oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di daerah Indo-Cina dan
berkembang dengan pesat pada zaman Megalitikum dan zaman Hindu.
Selanjutnya dinyatakan bahwa, nenek moyang
orang Minang Kabau diduga datang dari daratan Indo-Cina, terus mengarungi
lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka, kemudian memudiki Sungai
Kampar, Siak, Indragiri. Sebagian di antaranya mengembangkan kebudayaan serta
peradaban mereka di sekitar Kabupaten Lima Puluh Kota
sekarang.
Berdasarkan asal usul suku Minang Kabau ini
antara ilmu perbandingan bahasa dan bukti arkeologis, sekilas tampaknya ada
perbedaan, namun ada kesamaan yaitu, adanya tali kebudayaan dan tali bahasa
yang menghubungkan bangsa-bangsa Austronesia.[3]
Berlawanan dengan teori di atas, sebagaimana yang diceritakan dalam Tambo dan Kaba Minang, bahwa asal usul orang Minang
Kabau keturunan dari Dinasti Iskandar Zulkarnain
(Alexander The Great) sebaiknya dilupakan saja, karena menurut Poortman (ahli
sejarah asal Belanda yang ahli Batak), itu adalah buatan dari para pemalsu
sejarah, di antaranya Sultan Malik Ul Mansur.[4]
B. Sejarah Penamaan Minang Kabau
Hikayat menceritakan bahwa
penamaan Minang Kabau terambil dari ungkapan “menang adu kerbau.” Di antaranya buku-buku sejarah, Hikayat Raja-raja
Pasai yang melukiskan peristiwa-peristiwa di Sumatera antara 1280
dan 1400. Yaitu masuknya Islam kekesultanan Samudra-Pasai di pesisir timur
laut, dan akhirnya ekspansi kerajaan Majapahit dari Jawa ketika ia memasukkan
kepulauan sebelah barat itu ke dalam imperiumnya. Dalam versi cerita Majapahit terdapatlah
kesimpulan-kesimpulan aneh, kekalahan ratu Majapahit
dalam laga “adu kerbau” dengan penduduk setempat.[5]
Namun Hikayat-hikayat tersebut merupakan dongeng
yang dibuat sedemikian rupa, agar kedua
suku bangsa (Majapahit-Singosari dan Minang) tidak bersatu menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi di Nusantara ini. Akibatnya di dalam penulisan sejarah
Nasional, masing-masing pihak telah kehilangan data tentang adanya hubungan
kekeluargaan antara mereka.
MD. Mansur dkk., telah
mengidentifikasi peristiwa “adu kerbau” itu dengan kedatangan tentara
Singosari, pada tahun 1289. Dengan demikian, bukanlah kerbau Patih Gajah Mada
dari kerajaan Majapahit yang berlaga dengan kerbau Patih Sewatang (Datuk
Parpatih Nan Sabatang) dalam peristiwa itu. Karena kedatangan tentara kerajaan Majapahit
bersama Adityawarman setelah tentara kerajaan Singosari ditarik ke Jawa oleh
Raden Wijaya. Sedangkan Adityawarman berada di Minang Kabau dalam tahun 1347.[6]
Akan tetapi para ahli yang datang belakangan berpendapat, bahwa kata “Minang” berasal dari “mainang,” artinya memelihara
kehidupan. Kehidupan hanya dapat berlangsung apabila tersedia air.
Sebagaimana penduduk yang bermukim di nagari Tanjung Sungayang dan nagari
Minang Kabau di dekat nagari Pagaruyuang, di Luhak Nan Tuo, Kabupaten Tanah
Datar. Sampai sekarang masih menyebut sumber mata air besar
di kampung mereka dengan “minang.”
Minang memiliki
beberapa pancuran untuk mengalirkan air dari sumbernya. Sedangkan mata air yang
lebih kecil disebut sebagai “luak.” Kata luak/luhak juga dipakai oleh penduduk
lainnya di Sumatera Barat untuk menyebut sumber mata air ini. Minang dan luhak
memiliki makna yang sama, yaitu sumber mata air atau memelihara kehidupan.
Adapun yang dikatakan dengan
“kabau” (kerbau) adalah makhluk yang paling dekat dengan kehidupan agraris
nenek moyang mereka pada zaman dahulu. Tenaga (daya) binatang ini sangat
dibutuhkan untuk alat transportasi dan produksi. Lain dari itu, kerbau juga
sebagai alat bantu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan agraris untuk
mencapai peningkatan mutu dalam kehidupan.
Karena hasil pertanian
tidak akan optimal apabila tidak ada binatang kerbau yang membantu
pekerjaannya. Sedangkan dagingnya juga dapat dijadikan syarat utama untuk
pesta-pesta adat dan lambang kehormatan. Maka dari itu tanpa adanya air dan
keterlibatan kerbau, mereka tidak akan bisa hidup sekaligus mengembangkan
peradabannya.
Oleh karena itu
muncullah metafora “Minang Kabau” yang merupakan simbol dari gabungan nilai
kualitatif (Minang) dengan simbol nilai kuantitatif (Kabau) untuk acuan kehidupan.
Di sini makna kata “Minang Kabau” bukan berarti “memelihara binatang kerbau”
secara harfiah, akan tetapi penggabungan dua kata, yang masing-masing kata
memiliki nilai sendiri-sendiri ibarat bit informasi bilangan digital.
Mengacu pada penjelasan di atas, maka tulisan “Minangkabau” seperti lazimnya, akan ditulis terpisah menjadi Minang
Kabau. Penulisan demikian adalah cara penulisan yang asli, maksud dan
tujuannya agar istilah “Minang” dan ‘”Kabau” lebih mudah dipahami asal katanya.[7]
C.
Geografis
Minang Kabau
Letak geografis Minang Kabau (Propinsi Sumatera
Barat) terletak pada 00 45 Lintang Utara sampai dengan 30
36 Lintang Selatan dan 980 36 sampai dengan 1010 53 Bujur
Timur. Daerah ini merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dilewati oleh
garis khatulistiwa, tepatnya di Kota Bonjol (Kabupaten Pasaman).
Daerah propinsi Sumatera Barat terdiri dari
delapan kabupaten[8]
dan enam kota madya.[9]
Batas-batas propinsi Sumatera Barat (Alam Minang Kabau) sebelah utara
berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi
Jambi dan Propinsi Bengkulu; sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia
dan; sebelah timur berbatasan dengan Riau dan Jambi. Semua itu pada umumnya
berada dalam wilayah budaya Minang Kabau, kecuali Kepulauan Mentawai.
Namun, dalam pandangan budaya masyarakat Minang
Kabau, secara kultural mereka tidak mengenal batas-batas (geografis) wilayah
Minang Kabau dengan menggunakan istilah Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Akan
tetapi batas-batas wilayah tersebut mereka kenal seperti yang tertuang dalam
pidato adat:
Dari
ombak nan badabuo
Sampai
kasikilang Aia Bangih
Masuak
ka Rao Mapat Tunggua
Lapeh ka
sialang balantak basi
Dari
taratak aia itam
Hinggo
aia babaliak mudiak
Sampai
ka durian ditakuak rajo
Lapeh ka
buayo putiah daguak.[10]
Pengertiannya sebagaimana yang diuraikan Idrus
Hakimy Datuk Rajo Penghulu; dari ombak
nan badabuo maksudnya, daerah pantai barat yaitu Sumatera Barat sekarang; sampai ka sikilang aia bangih yang
meliputi daerah-daerah yang terletak di sekitar Pasaman Timur seperti, Air
Bangis, Ampalu, Cubadak, dan Simpang Tonang. Daerah-daerah tersebut berdekatan
dengan Sibolga (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara); masuak ka Rao Mapat Tunggul adalah daerah disekitar Rao (Pasaman
Timur) yang berbatasan dengan Muara Sipongi (Tapanuli Selatan, Sumatera Utara);
dan lapeh ka sialang balantak basi yaitu,
daerah yang terletak di sekitar Gunung Mas, dan Gunung Sailan yang berbatasan
dengan daerah Pasia Pangaraian, Riau.
Selanjutnya dari
taratak aia itam, adalah daerah di sekitar Bangkinang (Kabupaten Kampar,
Riau); hinggo aia babaliak mudiak yakni, daerah pesisir sebelah Timur
Pulau Sumatera (dalam Propinsi Riau), yang airnya berbalik ke hulu waktu pasang
naik. Daerahnya adalah Teluk Kuantan, Lubuk Jambi, Rengat, Basrah, Kuala
Tungkal, dan Pangian; sampai ka durian
ditakuak rajo, ialah daerah-daerah yang terletak dalam wilayah Propinsi
Jambi, sebelah barat meliputi daerah Muaro Bungo, Muaro Tebo, dan Muaro
Tembesi; lapeh ka buayo putiah daguak, daerah
yang terletak di sekitar Indropuro (Pesisir Selatan) yang berbatasan dengan
daerah Propinsi Bengkulu sebelah utara.[11]
Daerah utama Propinisi Sumatera Barat berada di
wilayah budaya Minang Kabau seperti yang dijelaskan di atas. Berukuran
42.297,30 kilometer persegi, yang meliputi daerah daratan Pulau Sumatera seluas
35.490,30 kilometer persegi, dan daerah daratan Kepulauan Mentawi seluas
6.807,00 kilometer persegi. Kepuluan Mentawi mempunyai empat pulau utama,
yaitu: Pulau Siberut; Pulau Sipora; Pulau Pagai Utara dan; Pulau Pagai Selatan.[12]
Selain itu, daerah Minang Kabau juga dilalui oleh jajaran Bukit Barisan.
Wilayah etnis Minang Kabau ini terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi,
bukit dan gunung, baik gunung yang pasif maupun yang aktif (berapi).[13]
Keragaman tinggi daerah tersebut dapat dilihat
dari letak ketinggian ibukota kabupaten propinsinya dari permukaan laut.[14]
Di samping dataran tinggi Bukit Barisan yang membentang dari utara ke selatan
di daerah Sumatera Barat, setidaknya terdapat 19 gunung (G).[15]
Tidak itu saja, Alam Minang Kabau kaya akan sungai besar maupun kecil yang
secara umum hulunya berasal dari sejumlah gunung-gunung yang telah disebutkan,[16]
dan terdapat empat danau besar dan setidaknya satu danau kecil.[17]
Dalam Tambo Adat Minang, secara geografis
dijelaskan Alam Minang Kabau terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan
Luhak nan Tigo (Luhak yang Tiga) dan Rantau. Luhak nan Tigo terdiri
dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh yang terletak di
pedalaman. Oleh karena itu, disebut juga darek
(darat). Darek merupakan kawasan pusat atau inti Minang Kabau. Sedangkan rantau
adalah kawasan pinggiran, daerah yang berbatasan dengan dan mengelilingi
kawasan pusat tersebut. Ketiga luhak ini terletak di dataran tinggi yang
membentang antara Bukit Barisan membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera.
Luas daerah Minang Kabau kurang dari 3 persen
dari total luas Indonesia. Kecuali kawasan pantai, sebagian besar kawasan
Minang Kabau terletak pada ketinggian sekitar 1.500 kaki di atas permukaan laut,[18]
yang sebagian besar nagari-nagarinya terletak di daerah yang dikelilingi oleh
tiga gunung yaitu: Merapi; Singgalang dan; Sago. Luasnya 42.000 kilometer
persegi dan merupakan 11 persen dari luas Pulau Sumatera secara keseluruhan.[19]
Penduduknya menyebar ke wilayah pinggiran yang
kemudian disebut rantau. Pada mulanya rantau merupakan tempat pemukiman orang
Minang Kabau. Kemudian rantau menjadi wilayah kedua Alam Minang Kabau yang
terpisah dari daerah asal. Namun tetap menghubungkan diri dengan negeri asal. Daerah
sepanjang aliran sungai yang mengalir ke pantai timur disebut rantau timur.
Daerah dataran rendah yang sempit dan membujur sepanjang pantai barat Sumatera
Barat disebut rantau pesisir yaitu, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan
Indrapura. Di sebelah utara Luhak Agam terletak rantau Pasaman, terdiri dari:
Rao; Lubuk Sikaping; Portibi dan; Air Bangis.
Daerah rantau bagian selatan berbatasan dengan
Kerinci, terletak Alahan Panjang, Sungai Pagu dan Muara Labuh. Kedudukannya
menjadi penting sebagai pintu gerbang penghubung Minang Kabau ke dunia luar
karena terletak di daerah pinggiran laut. Dengan demikian, konsep “Alam Minang
Kabau” merupakan simbol hubungan yang erat antara kawasan inti Minang Kabau
dengan kawasan rantau.
Perlu diingat bahwa Alam Minang Kabau mengandung
tiga pengertian: Pertama, sebagai kesatuan lingkungan alam (geografi); kedua,
kesatuan cultural dan; ketiga, kesatuan sosiologis, sebagai kesatuan
ujud interaksi antara dua kawasan Alam Minang Kabau yang tumbuh dan berkembang
mengikuti dinamika sejarahnya. Ketiga hubungan ini dapat dilihat dalam hubungan
politik dan bentuk hubungan dagang, ikatan politis dan hubungan perdagangan.[20]
Pulau Sumatera yang dibelah dua oleh garis khatulistiwa, yaitu dititik paling
utaranya
terbentang jalan raya niaga ke India sampai ke dunia perdagangan Laut Tengah
yakni, kawasan yang sejak berabad-abad lamanya pernah menjalin hubungan
perdagangan dengan Sumatera. Kerajaan-kerajaan besar juga terdapat di pulau ini seperti,
kerajaan Maritim Sriwijaya, Melayu
dan Aceh.
Merantau dan persaingan merupakan ciri khas
kehidupan kerajaan-kerajaan tersebut, dan penduduknya memiliki tingkat mobilitas
individual yang tinggi yaitu, melakukan perjalanan jauh untuk berniaga, atau
suatu waktu melakukan penjarahan, menjadi bajak laut. Dengan demikian, Sumatera
secara historis merupakan pulau dengan penduduk gemar berdagang dan dinamis,
menjadi arena percaturan politik dunia internasional atau persaingan prestasi
individual. Orang Minang Kabau di Sumatera Barat khususnya menjadi pewaris terhormat
dari tradisi yang sudah sangat tua ini.[21]
Itu juga barangkali yang membuat Usman Pelly memandangnya sebagai misi budaya,
yang menyebabkan orang Minang Kabau terkenal di rantau sebagai makhluk ekonomi
yang ulet.[22]
D.
Islam di
Minang Kabau
Islam masuk ke daerah
Minang Kabau diperkirakan sekitar abad ke-7 Masehi.[23]
Pendapat lain ada juga yang mengatakan pada abad ke-13.[24]
Untuk menyatukan pendapat yang berbeda, diadakanlah seminar
beberpa kali. Di antaranya pada tahun 1963 di Medan, tahun 1969 di Aceh, dan
terakhir pada tahun 1980 di Padang. Hasil seminar diperkuat dengan berbagai
literatur, dan para sejarawan sepakat
menyatakan bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur: Pertama, melalaui
jalur dagang. Karena daerah Minang Kabau selain terletak pada jalur yang strategis
dalam hal perdagangan, juga merupakan penghasil komoditi pertanian dan
rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera yaitu, lada dan pala.
Pedagang Persia dan Gujarat
adalah salah satu saudagar yang instens melakukan hubungan dagang dengan
pedagang Minang Kabau, terutama di
bagian timur. Jalur yang ditempuh adalah Sungai Kampar Kanan, Kampar Kiri,
Aliran Sungai Batang Hari dan Sungai Dareh. Pada dasarnya mereka telah
melakukan interaksi ini sejak abad ke-7 M. Sehubungan dengan itu, pada umumnya
mereka juga telah memeluk agama Islam sekaligus berperan sebagai da’i. Ini
menunjukan bahwa penyiaran Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum
terencana dan terprogram.
Dalam konteks demikianlah
banyak dari tokoh-tokoh Minang tertarik dengan agama yang
mereka anut, apalagi praktik hidupnya. Salah satu yang
mendorong dan mudahnya mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana
dan mudah untuk dipahami. Lagi pula budaya dan falsafah adat yang dianut, dan sifatnya yang terbuka menambah
suasanan menggembirakan bagi perkembangan Islam di wilayah itu.
Penyiaran Islam pada
periode ini sempat terhenti karena terhalang oleh tindakan Dinasti Cina T’ang
yang merasa kepentingan ekonominya di Minang Kabau timur terancam oleh Khalifah
Umayyah.[25]
Keadaan ini berlangsung kurang lebih 400 tahun. Berdasarkan uraian di atas
dapat dipahami bahwa, pengembangan Islam pada dekade ini dilakukan melalui
pendekatan kultural, yaitu sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat
Minang.
Kedua, penyiaran Islam pada tahap ini berlangsung pada saat pesisir
barat Minang Kabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522). Sebagai umat yang terlebih dahulu masuk Islam, para
pedagang Aceh juga berperan sebagai mubaligh. Mereka giat melakukan penyiaran
dan mengembangkan Islam di daerah pesisir, di mana mereka berdagang
terutama wilayah di bawah pengaruh Aceh (Samudera Pasai). Sejak itu
peng-islam-an Minang Kabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Ini berlangsung
pada abad ke-15 M.[26]
Lain dari itu, seorang putra Minang Kabau,
Burhanuddin, putra Koto Pandang Pariaman, telah pula masuk
Islam. Ia kemudian pergi ke Aceh menuntut ilmu keislaman kepada Syekh Abdur
Rauf. Sekembalinya dari Aceh, ia secara intensif mulai mengajarkan Islam
di daerahnya, terutama di Ualakan. Ternyata apa yang ia usahakan disambut
baik oleh masyarakat sekitarnya, bahkan muridnya juga berdatangan dari berbagai
pelosok Minang Kabau.
Dalam
waktu yang relatif pendek, Ulakan menjadi ramai
dikunjungi masyarakat untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi.
Sejak itu sampai sekarang tempat ini masih ramai dikunjungi umat Islam dari
berbagai penjuru tanah air, terutama pada bulan Shafar. Tidak heran, jika melalui murid-murid Burhanuddin
Islam berkembang sampai ke daerah darek
(dataran tinggi). Sehubungan dengan itu muncul pepatah adat yang mengatakan: Syarak mandaki adat menurun.[27]
Artinya,
Islam mulai dikembangkan dari daerah pesisir ke daerah pedalaman, sementara
adat berasal dari darek baru kemudian dikembangkan ke daerah
rantau, termasuk pesisir.
Ketiga, Islam dari pesisir barat terus
mendaki ke daerah darek. Pada periode ini kerajaan Pagaruyung sebagai
pusat pemerintahan Minang Kabau masih menganut agama Budha. Namun demikian,
sebagian besar masyarakat Minang Kabau telah menganut Islam.
Pengaruh tersebut begitu tampak di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu saja untuk memeluk Islam.[28]
Pertengahan
abad ke-17 semua pusat perdagangan emas dan desa-desa yang sebahagian besar
penduduknya pedagang emas telah memeluk agama Islam. Sumpur Kudus lalu mendapat sebutan sebagai “Mekkah Darat.” Sedangkan pusat-pusat emas lainnya
seperti, Talawi dan Padang Ganting juga menjadi muslim. Demikian
pula pusat-pusat Hindu-Budha di sekitar Saruaso dan Pagaruyung yang telah
memeluk Islam, ketika keluarga raja pindah di sana.
Bagi Dataran Tinggi Minang Kabau, masih ada jalan lain bagi Islam untuk memasuki daerah
ini. Jalan tersebut
adalah, jalan yang sesuai baik
bagi pemikiran Islam maupun pemikiran Minang Kabau. Dengan jalan itu juga, desa-desa terlibat dalam pranata Islam secara
keseluruhan meskipun desa itu sendiri mungkin tidak menjadi masyarakat muslim.
Satu segi penting dalam kehidupan desa Minang Kabau itu adalah surau[29]
yaitu, rumah yang didiami para pemuda setelah akil baliq.[30]
Desa-desa pertanian yang
banyak jumlahnya di Minang Kabau dan tidak berkaitan dengan perdagangan emas,
hubungan mereka dengan Islam ada dua macam: Pertama, afiliasi agama baru ini dengan sistem keluarga dan suku dan; kedua, hubungan
Islam dengan masyarakat desa secara keseluruhan. Hubungan kedua ini lebih sukar
dilaksanakan. Karena kehidupan pertanian
berlanjut dalam irama menanam dan menuai. Sistem yang sangat sejalan dengan
menyenangkan roh-roh dan berkonsultasi dengan cenayang (pawang).
Tampaknya Islam tidak bisa
memberikan sesuatu di sini. Maka tidak mengherankan, jika sampai pada awal abad ke-19 masih ada desa-desa
yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan kepercayaan muslim. Jadi,
Islam tidak berdampak pada tingkat masyarakat, melainkan hanya pada tingkat suku.[31] Adapun
yang disebutkan dengan Sumpur Kudus, Padang
Ganting dan Saruaso, ini lah yang natinya dikenal dengan “Rajo Tigo Selo” (Raja Tiga Sila). Artinya, tiga orang raja yang bersila atau bertahta yaitu, Raja Adat di Buo, Rajo Ibadat di Sumpur
Kudus, dan Rajo Alam di Pagaruyung. Raja Tiga Sila ini
merupakan sebuah institusi tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo
adat disebut Limbago Rajo[32] atau “Yang
Dipertuan” yaitu yang di “Tuankan” bersama-sama.[33]
Mereka juga berasal dari
satu keturunan yang sama. Mereka bertiga dalam berbagai
tulisan tentang kerajaan Melayu Minang Kabau ditafsirkan sebagai satu raja.
Itulah sebabnya sejarah mencatat bahwa, raja Melayu sewaktu didatangi Mahisa
Anabrang dari Singosari yang memimpin ekspedisi Pamalyu bernama Tribuana Raja
Mauli Warmadewa. Arti kata tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal
dari keluarga Mauli Warmadewa.[34]
Raja Adat dan Raja Ibadat
dapat memutuskan dengan sendiri segala urusan yang
ditugaskan kepada mereka. Hanya saja ketika terjadi kusut yang tidak dapat
diselesaikan dan keruh yang tidak bisa dijernihkan, barulah dibawa kepada Raja
Alam sebagai “pusat jala pumpunan ikan.”
Namun, ketika bagindapun tidak dapat memutuskan hal yang sulit itu sendirian,
maka baginda haruslah bermusyawarah[35]
terlebih dahulu dengan “Basa Empat Balai”
(Besar Empat Balai) atau orang besar berempat, yang mempunyai tugasnya
masing-masing.[36]
Adapun keputusan kerapatan itu, yang dihadiri
oleh raja Alam itulah keputusan tertinggi dan nantinya akan disampaikan kepada
rakyat di teluk dan rantau dengan surat. Sedangkan di dalam nagari dilewakan dengan
memukul tabuh.
Oleh sebab itu, yang sebenarnya raja ialah “keputusan
mufakat,” dan Raja Alam sendiri tidaklah memiliki titah tertinggi. Keputusan-keputusan
yang demikian hanyalah yang berkenaan dengan umum. Di masa itu setiap nagari di
Minang Kabau yang lebih kurang 500 banyaknya, mereka merdeka menyusun adat-istiadat
dan perbelanjaannya sendiri-sendiri. Tentunya di bawah pimpinan penghulu
masing-masing dari setiap suku, baik menurut Koto Piliang maupun Bodi Caniago.[37]
Dengan demikian, tiap-tiap nagari pada umumnya
dibiarkan berdiri sendiri. Sedikit sekali terjadi, kalaupun ada, hubungan di
antara nagari-nagari yang bertetangga sering bermusuhan satu sama lainnya. Maka,
dalam hubungan inilah kiranya Taufik Abdullah menganggap posisi kekuasaan
federal di Pagaruyung sebagai “suatu lembaga sakral yang selalu memelihara
ekwilibrium di antara nagari-nagari yang bermusuhan.”
Sedangkan penghulu yang berkuasa di nagari,
tidaklah mewakili raja tetapi mewakili rakyat dari nagari itu sendiri. Bahkan
luhakpun tidaklah merupakan suatu kesatuan politik. Tetapi semata-mata
perpaduan wilayah adat dari sekelompok nagari. Kenyataan ini yang telah
menyebabkan banyak dari penelitian kebudayaan Minang Kabau berkesimpulan, bahwa
Minang Kabau dalam struktur sosial-politiknya mirip dengan negara-negara kota
dalam jaman Yunani kuno. Di mana setiap nagari bertindak lebih kurang seperti
republik mini di bawah pengawasan nominal dari pemerintahan federal.[38]
Adapun yang dinamakan dengan Koto Piliang
adalah, ia mengarah pada Kerajaan Aristokrasi. Kebesarannya empat tingkat yaitu,
Keempat Suku, Penghulu Pucuk, Datuk-datuk
Adat dan Datuk-datuk Ibadat. Gelar
pusaka masing-masing tidak boleh keluar dari garis yang ditentukan dalam suku,
dalam istilah Minang disebut dengan “titik dari ateh”. Sedangkan Bodi Caniago
memakai dasar kata mufakat (dalam istilah Minang disebut dengan “mambasuik dari
bumi”) yang diputuskan oleh orang “Empat
Jenis” yaitu, Penghulu-penghulu,
Manti, Dubalang dan Imam Khatib
(tuanku-tuanku), seperti yang telah dijelaskan di atas.
Pada zaman “jahiliyah”
(Budha Bairhawa) raja Minang Kabau hanyalah “lambang.” Sekali-kali tidak
terdapat feodalisme. Setinggi-tingginya hanya aristokrasi yang terdapat dalam
pemerintahan Koto Piliang. Maka setelah Islam mengambil peran dalam menyusun
adat, susunan itu dipelihara dalam bentuk yang baru.[39]
Jadi secara historis, sebelum masuknya berbagai agama ke Minang Kabau, masyarakat di samping mentaati peraturan-peraturan adat juga
telah menganut kepercayaan pra-agama, baik dalam bentuk animisme maupun
dinamisme, hingga mereka menerima pengaruh agama dari luar. Agama yang lebih dulu memasuki
kepulauan Nusantara adalah Hindu dan Budha. Pada abad ke-6 atau ke-7 M. Kedua
agama tersebut telah berada di pulau Sumatera.[40]
Memang, tidak banyak yang bisa ketahui tentang zaman Hindu-Budha
di Minang Kabau. Meskipun demikian telah dipastikan bahwa, pada tahun 1356 Adityawarman mendirikan biara Budha di
dekat Bukit Gombak. Rupanya biara itu menjadi tempat berkumpul para pemuda
untuk mempelajari pengetahuan suci. Contoh ini tentu saja merupakan pemecahan yang
ideal untuk masalah sosial yang
sangat jelas.
Oleh sebab itu, di desa-desa tertentu Islam
menyusun sarana belajar atas dasar surau dari zaman pra-islam. Sebagaimana yang
telah diterangkan di atas. Ini dikarenakan adanya kenyataan bahwa, pada
abad-abad awal masuknya Islam, persaudaraan muslim (tarekat)[41]
muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan umum untuk bisa berhubungan lebih dekat
dengan Tuhan.
Cara tersebut dianggap lebih baik daripada
hukum-hukum kering yang disampikan oleh pakar Islam resmi. Penganut
persaudaraan ini disebut juga dengan sufi. Mereka menekuni tariqoh (bahasa Arab untuk ‘jalan, cara’) yang ditetapkan oleh seorang guru atau syekh, orang yang mereka pelajari
ilmunya. Tarekat dan sekolahnya bisa masuk dalam sistim
surau yang sudah ada di Minang Kabau tanpa pergesekan apa pun.[42]
Faktor
utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam
kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau
kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal.
Dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam literatur dan sejarah
Melayu-Indonesia.[43]
Selain itu, nilai-nilai dan norma adat Minang Kabau
yang terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kebahasaan seperti
pepatah-petitih, pantun, pribahasa, atau bahkan cerita-cerita lisan yang
diturunkan dan disebarkan secara lisan,[44]
sebelum Islam merambah masuk ke Minang Kabau, telah pula mempunyai persamaan
tentang ajaran dalam bidang, yaitu sama-sama mengutamakan budi pekerti yang
baik, dan sifat malu di antara sesama seperti, kata pepatah adatnya “Mamakai
raso jo pariso, manaruah malu jo sopan” (Memakain rasa dengan periksa, menaruh
malu dengan sopan).
Jika keempat sifat (raso, pariso, malu dan
sopan) ini telah hilang dari dalam diri seorang Minang Kabau, maka jatuhlah
martabatnya kepada martabat ‘hewani.’ Orang yang demikian disebutkan dalam
ungkapan adat, indak tahu diampek (tidak tahu dengan yang empat).
Artinya, tidak berbudi pekerti yang baik, tidak memiliki raso, pariso, malu dengan
sopan.[45]
Berkaitan dengan rasa malu di atas, ada hadist
yang mengatakan:
عَنْ
اَبِىْ مَسْعُوْدٍ عَقْبَةَ بْنِ عَمْرِوْ الاَنْصَارِيِّ البَدْرِيِرَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنَّ مِمَّا اَدْرَكَ
النَّامُى مِنْ كَلَ مِ النُّبُوَّةِ اْلاُوْلَى، اِذَالَمْ تَسْتَعْ فَاصْنَعْ
مَا شِئْتَ.
Artinya:
“Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr Anshari al Badri r.a. mengatakan bahwa Rasulullah
Saw., bersabda; ‘Perkataan (sabda Nabi paling pertama yang dikenal atau
diketahui manusia adalah, ‘Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah semaumu.” (HR.
Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad).
اِنَّ
لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ اْلاِسْلَامِ اْحَيَاءُ.
Artinya:
“Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa
malu.” (HR. Imam Malik).[46]
Dalam hal ini, masyarakat
Minang Kabau menyakini bahwa adat dengan sendirinya mengandung nilai-nilai
hukum alam (sunnatullah), dan karenanya tidak mungkin bertentangan dengan
Islam.[47]
Dan
setelah Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut, maka masyarakat Minang Kabau juga menyakini bahwa di dalam
sistem sosial kemasyarakatannya, Islam dan adat telah
terintegrasi dengan baik. Ini tampak dalam adagium
Adat Basandi Syarak,[48]
Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Sebagai perwujudan dari
adagium ABS-SBK tersebut, muncul pula pepatah-petitih lain yang mengiringinya,
Syarak Mangato, Adat Mamakai, artinya segala bentuk ajaran agama khususnya yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi diterapkan melalui adat. Pepatah lainnya “Syarak Batalanjang, Adat
Basisampiang.” Artinya, apa yang
dikatakan oleh agama adalah tegas dan terang dan transparan, tetapi setelah
diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksanaannya yang sebaik-baiknya. Pepatah
lain, Adat yang Kawi, Syarak yang Lazim. Artinya, adat tidak akan tegak jika
tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama tidak akan berjalan jika tidak
dilazimkan (diterapkan) melalui adat.[49]
Diakui Fathurahman, bahwa hubungan Islam dan adat di Minang Kabau memang sangat
kompleks, dan dalam hal-hal tertentu tidak jarang terjadi konflik dan
ketegangan di antara keduanya. Kendati demikian, seperti dikemukakan sejarahwan
Taufik Abdullah mislanya, kalau pun terjadi konflik antara Islam di satu sisi
dengan adat di sisi lain, hal itu tidak dapat dipandang sebagai bentuk
ketegangan antara dua “pandangan dunia” yang berbeda, melainkan sebagai satu
kesatuan dalam sebuah sistem secara keseluruhan.[50]
Keterkaitan antara adat
dan Islam di Minang Kabau, sebagiamana yang ditulis Buya Hamka bahwa “dalam
peraturan Hukum Fiqih Islam, maka “uruf dan adat” di setiap negeri (mana yang
tidak melanggar peraturan Islam) diakui sebagai suatu kenyataan. Islam
mendapati suatu negeri yang telah teratur. Dengan kedatangan Islam ia menambah
kokohnya peraturan yang telah ada. Oleh karena itu, susunan adat pemerintahan
Koto Piliang dan Bodi Caniago dibiarkan tetap, serta lambang kebesaran orang Minang
Kabau yaitu, nama Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan tetap
terpelihara.”[51]
Tahap yang dilalui dalam rangka mewujudkan
persentuhan antara adat dan syara’ sehingga keduanya berjalan secara terpadu. Menurut
Syarifuddin setidaknya terdapat tiga tahap. Pertama, adat dan syara’
berjalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi.
Masyarakat Minang Kabau menjalankan agamanya dalam bidang aqidah dan ibadah,
tetapi tetap mematuhi norma-norma adat, khususnya dalam aspek kehidupan sosial.
Sebagaimana bunyi pepatah: Adat basandi alur dan patut, syara’ basandi dalil
(Adat berjalan sesuai dengan kepatutan, syara’ berjalan berdasarkan
Kitabullah).
Kedua, antara adat dan syara’ satu sama lain saling
menuntut hak tanpa menggeser kedudukan pihak lain. Sebagaimana bunyi pepatahnya:
“Adat basandi syara’, sayara’ basandi adat.” Artinya, antara adat dan
syara’ saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Berdasrkan pemaknaan ini,
seorang Minang Kabau pada waktu melaksankan ajaran agama dengan sendirinya telah
melaksanakan tuntunan adat. Begitu pula pada waktu melaksanakan ajaran adat,
juga telah mengerjakan agama. Hal ini disebabkan karena terpadunya adat dengan
agama atau adat menyatu dalam agama.
Ketiga, ditandai dengan terjadinya konflik antara
pemuka agama yang menginginkan pemurnian Islam dengan pemuka adat yang ingin
mempertahanakan nilai-niai adat seutuhnya. Konflik terjadi karena timbulnya
rasa tidak puas di antara pemuka agama terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang
dianggap belum murni dari praktek-praktek di luar ajaran, seperti animism dan
dinamisme.
Sehingga secara kualitatif ajaran agama belum dijalankan secara murni sekalipun
secara kuantitatif pengiukut Islam sudah banyak.
Sikap toleransi berlebihan yang diberikan oleh
sebagian pemuka agama terhadap pemuka adat berperan juga terjadinya konflik.
Gerakan pemurnian Islam ini lah yang dikenal dengan sebutan gerakan Paderi.
Konflik berakhir dengan suatu konsensus yang dicapai antara pemuka adat dengan
pemuka agama, kemudian dikenal dengan Piagam Bukik Marapalam yang
esensinya adalah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara Mangato
Adat Mamakai” (Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabulah,
Syara’ Mengatakan, Adat Memakai). Melalui konsensus ini, hukum adat
dijalankan dalam kehidupan sehari-hari sejauh tidak bertentangan dengan hukum
syara’.[52]
Berdasarkan uraian di atas, kesimpulannya
konsep tentang Tuhan secara epistemologis dalam filsafat adat Minang Kabau
harus dilihat dalam dua rentang waktu, yaitu sebelum dan sesudah Islam masuk ke
wilayah Minang Kabau. Sebelum Islam masuk, konsep Tuhan dimaknai dalam
pengertian agama budaya melalui pengalaman empiris, yaitu alam terkembang jadi
guru.[53]
Dalam keyakinan mereka setelah berpulang
kerahmatullah, mereka mengibaratkannya dengan bunyi pepatah, hiduik
dikanduang adat, mati dikanduang tanah (hidup dikandung adat, mati
dikandung tanah).[54] Setelah menganut kepercayaan agama Islam,
keyakinan mereka kepada Tuhan merupakan sesuatu yang mutlak adanya, sehingga
eksistensi Tuhan berada pada posisi tertinggi. Ini bisa kita dapatkan dari
redaksi pepatah adat, hiduik baraka, mati bariman (hidup berakal, mati
beriman).[55]
Dengan begitu, dikenalah ungkapan pepatah adat
yang mengatakan: “Calak alah tajam pun ado, tingga dibawa manyampaikan,
syarak alah adat pun ado, tingga di awak mamakaikan” (Calak sudah, tajam
pun ada, tinggal dibawa menyampaikan, syarak sudah adat pun ada, tinggal kita
yang memakainya).[56]
Artinya, setelah terjadi peleburan adat ke dalam agama Islam di Minang Kabau,
adat Minang Kabau tinggal memakai saja. Karena antara adat dan Islam ada
kesesuaian. Karena adat, setelah Taraktat Marapalam[57]
tunduk kepada syarak, maka prinsip adatpun sama dengan prinsip syarak: “nan
elok diambiak, nan buruak dibuang” (yang baik diambil, yang buruk dibuang),
walaupun darimana datangnya.[58]
[1] Nadra.
2006. Merekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University
Press. hal 11-12.
[2] Naim,
Mochtar. 1973. Merantau Pola Migrasi
Suku Minangkabau. Diterjemahkan oleh Rustam St. R. Tinggi dan Antasari.
1984. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 59.
[3] Nadra.
2006. Merekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University
Press. hal 14.
[4]
Sjarifoedin Tj.A, Amir. 2011. Minangkabau
dari Dinasti Iskandar Zulkarnain sampai Tuanku Imam Bonjol. Jakarta: PT
Gria Media Utama. hal. 43-48.
[5] Hadler, Jefry. 2008. Sengketa Tiada Putus:
Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Diterjemahkan
oleh Samsudin Berlian. 2010. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 18.
[6] Jamal, Mid. 1982. Manyigi Tambo Alam Minangkabau:
Studi Perbandingan Sejarah. Bukittinggi: CV. Tropik. hal. 16.
[8]1)
Kabupaten Agam, ibukotanya Lubuak Basuang; 2) Pasaman, ibukotanya Lubuk Sikaping;
3) Limo Puluah Koto, ibukotanya Payakumbuah; 4) Tanah Datar, ibukotanya
Batusangkar; 5) Padang Pariaman, ibukonya Pariaman; 6) Solok, ibukotanya Solok;
7) Sawah Lunto atau Sijunjuang, ibukotanya Muaro Sijunjuang; dan 8) Kabupaten
Pesisir Selatan ibukonya Painan.
[9]1) Kota
Madya Bukittinggi; 2) Kota Madya Padang Panjang; 3) Kota Madya Padang; 4) Kota
Madya Solok; 5) Kota Madya Payakumbuh dan; 6) Kota Madya Sawah Lunto.
[10] Sastra,
Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik.” Tesis. Yogyakarta: Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada.
hal. 41-42. Tidak diterbitkan.
[11] Datuk
Rajo Penghulu, Idrus Hakimy. 1984. Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Cet. Ke-2. Bandung:
Remadja Karya CV. hal. 20-21.
[12] Sastra,
Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Konflik”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada.
hal. 45. Tidak diterbitkan.
[13] Amir,
Adriyetti. dkk. 2006. Pementasan Sastra
Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press Kampus UNAND Limau
Manis. hal. 10-11.
[14] Kota
Bukittinggi terletak pada ketinggian 925 meter dari permukaan laut; Kota Padang
Panjang 780 meter; Kota Payakumbuh 513 meter; Kota Batusangkar 460 meter; Kota
Lubuk Sikaping 450 meter; Kota Solok 190 meter; Kota Sijunjuang 160 meter; Kota
Painan 5 meter; Kota Pariaman 2 meter; dan Kota Padang 2 meter dari permukaan
laut.
[15] G.
Talamau (2.912 meter), G. Gadang (2.060 meter), G. Kalabu (2.172 meter), dan G.
Pasaman (2.190 meter) terdapat di Kabupaten Pasaman; G. Merapi (2.891 meter),
G. Singgalang (2.877 meter) terdapat di Kabupaten Agam; G. Tandikek (2.438
meter) terletak di Kabupaten Padang Pariaman; G. Talang (2.572 meter)a dan G.
Pantai Cermin (2.690 meter) terletak di Kabupaten Solok; G. Sago (1.863 meter),
G. Mas (2.171 meter), G. Silampu (1.036 meter), G. Bukit Gadang (2.153 meter)
dan G. Dingin (1.957 meter) terdapat di Kabupaten Limo Puluah Kota; G. Rasan
(2.585 meter), G. Mande Rubiah (2.039 meter), G. Bujang Juaro (2.430 meter), G.
Gantang (1.377 meter), dan G. Gadang (1.963 meter) terdapat di Kabupaten
Pesisir Selatan.
[16] Sungai
tersebut bermuara ke pantai barat atau ke pantai timur Sumatera. Beberapa di
antaranya adalah Sungai Batang Kampar, Sungai Dareh, Batang Sumpur, Batang
Sikalang, Batang Masang yang terdapat di Kabupaten Pasaman; Batang Agam, Batang
Sianok dan Batang Mangau di Kabupaten Agam; Batang Mahat, Batang Kampar dan
Batang Agam di Kabupaten Limo Puluah Kota; Batang Gadih dan Batang Karilan
Gadang di Kabupaten Tanah Datar; Batang Mangau dan Batang Anai di Kabupaten
Padang Pariaman; Batang Kuranji dan Batang Arau di Kota Padang; Batang
Palangki, Batang Gumanti, dan Batang Hari di Kabupaten Solok; Batang Kapas,
Batang Sutantiah dan Batang Tapan di Kabupaten Pesisir Selatan; Batang
Palangki, Batang Pangean dan Batang Hari di Kabupaten Sawah Lunto atau
Sijunjuang.
[17] Danau
Maninjau (98 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Agam; Danau
Singkarak (110 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Solok dan
Kabupaten Tanah Datar; Danau Diatas (31,50 kilometer persegi), dan Danau
Dibawah (14 kilometer persegi) terletak di wilayah Kabupaten Solok. Sastra,
Andar Indra. 1999. “Bagurau dalam Basaluang: Cerminan Budaya Komflik”. Tesis. Yogyakarta: Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan (Jurusan Ilmu Humaniora), Universitas Gadjah Mada.
hal. 48-50. Tidak diterbitkan. Dan Danau Kandih di Sawah Lunto. Harian Umum;
Rakyat Sumbar Utara. 4 Agustus 2010. “Rakyat Sumbar Timur.” hal. 4.
[18] E.
Graves, Elizabeth. 1981. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern-Respons terhadap
Kolonial Belanda Abada XIX/XX. Diterjemahkan oleh Novi Andri, dkk. 2007.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal.
1-2.
[19] Datuk
Kando Marajo, Syafnir Aboe Nain. 1993. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-2. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah. hal. 13-14.
[20] Datuk
Kando Marajo, Syafnir Aboe Nain. 1993. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-2. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah. hal. 14-15.
[21] E.
Graves, Elizabeth. 1981. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern-Respons terhadap
Kolonial Belanda Abada XIX/XX. Diterjemahkan oleh Novi Andri, dkk. 2007.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 1.
[22] Dt.
Bandaro, H. CH. N. Latif, dkk. (ed.). 2004. Minangkabau yang Gelisah:
Mencari Strategi Sosialisasi Pewarisan Adat dan Budaya Minangkabau untuk
Generasi Muda. Bandung: CV. Lubuk Agung. hal. 85.
[23] Hamka.
2010. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah. hal. 58-59.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. hal. 31.
[24]
Pahlawan Kayo, RB. Khatib dan Marjohan. 2010. Muhammadiyah Minangkabau
(Sumatera Barat) dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
hal. 11.
[25] Lebih
jelasnya lihat Hamka. 2010. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. hal. 59-61. A.A. Navis.
1984. Layar Terkembang jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
hal. 25. Azyumardi Azra. 1994. Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung:
Mizan. hal. 26-39. M. C. Ricklefs. 1981,1993, 2001, 2008. Sejarah
Indonesia Modern. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Serambi. 2010. Cet.
III. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. hal. 4-5. Abdul Karim. 2007. Islam
Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. hal. 42. Lihat juga Amir. MS. 2006. Adat Minangkabau Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta:
Pt. Mutiara Sumber Widya. Cet. Ke-V. hal. 128.
[26]
Bakhtiar, dkk. 2005. Ranah Minang di tengah Cengkraman Kristenisasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal.
16-17.
[27] Hamka.
2008. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Yogyakrta: Suara Muhammadiyah.
hal.
148-149. Lihat juga Christine Dobbin. 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan
Islam dan Gerakan Padri. Jakarta:
Komunitas Bambu. hal. 185-245.
[28]
Bakhtiar, dkk. 2005. Ranah Minang ditengah Cengkraman Kristenisasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. hal. 18.
[29] Hadler,
Jeffrey. 2008. Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformise Agama dan
Kolonialisme di Minang Kabau. Diterjemahkan oleh Samsudin Berlian. 2010.
Jakarta: Freedom Institute. hal. 145, 152-153, 192-194, 169. Deliar Noer. 1973. Gerakan Modern Islam di
Indonesia1 900-1942. Diterjemahkan oleh Deliar Noer. 1988. Cet. Ke-IV.
Jakarta: LP3S. hal. 15-16.
[30] Dobbin,
Chistine. 1983. Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh
Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 191.
[31] Dobbin,
Chirtine. 1983. Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh
Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 190-191.
[32] Dt.
Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo
Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang.
Bukittinggi: Kristal Multimudia. hal. 75.
[33] Hamka.
1982. Ayahku. Jakarta:
Umminda. Cet. IV. hal. 6.
[34] Dt.
Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam
Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi:
Kristal Multimudia. hal. 75.
[35] Karena
di Minang Kabau tidak berlaku keputusan suara terbanyak, melainkan bulat air
karena pembuluh, bulat kata karena mufakat (musyawarah dan mufakat). Hamka.
1982. Ayahku. Jakarta:
Umminda. Cet. IV. hal. 8. Atau yang dikenal dalam pepatah Yunani, Fox Populi
Fox Dei. Ini juga tidak berlaku bagi masyarakat Minang Kabau. Datuak, Azmi.
(ed.). 2008. Polemik Adat Minangkabau di Internet. Jakarta: Yayasan
Citra Pendidikan Indonesia dan Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau (LAKM). hal.
138.
[36] Pertama,
Bandaro (Bendahara) atau “Tuan
Titah” di Sungai Tarab. Gelar kebesarannya “Pamuncak
Koto Piliang”, yang kedudukannya hampir sama dengan Perdana Menteri. Gelar
Bendahara ini pun terdapat dalam Kerajaan Melayu Islam Malaka; kedua, Mangkudum di Sumanik, dengan
julukan “Aluang Bunian Koto Piliang.”
Tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan seluruh
rantau, dan kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minang Kabau; ketiga, Indomo di Suruaso, dengan
julukan “Payuang Panji Koto Piliang.”Tugasnya menjaga perjalanan adat istiadat supaya berlaku “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak
boleh lupa” dalam seluruh Alam Minang Kabau; keempat, Tuan Qadhi di Padang Ganting, dengan julukan “Suluh Bendang Koto Piliang.” Betugas menjaga perjalanan Syara’ dan
Agama. Adakah berlaku menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul, berjalan sunnat dan
fardhu di antara halal dengan haram.
Di samping “Basa
Ampek Balai” terdapat juga seorang besar yang sama kedudukannya dengan
mereka, dan kalau perlu beliaupun turut dalam kerapatan memutuskan hal yang
sulit-sulit. Terutama jika berkenaan dengan “tohok
parang,” yaitu “Tuan Gadang”
(Tuan Besar) di Batipuh. Beliau adalah Panglima Besar peperangan. Beliau tidak
masuk Basa Ampek Balai tetapi,
martabatnya sama dengan julukan “Harimau
Campo Koto Piliang.” Dt. Sanggoeno Dirajo, Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimudia. hal. 77.
[37] Hamka.
1982. Ayahku. Jakarta:
Umminda. Cet. Ke-IV. hal. 6-7.
[38] Naim,
Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku
Minangkabau. Diterjemahkan oleh Rustam St. R. Tinggi dan Antasari. 1984.
Cet. Ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 64. Nadra. 2006. Rekonstruksi Bahasa Minangkabau. Padang: Andalas University
Press. hal. 20.
[39] Hamka.
1982. Ayahku. Jakarta:
Umminda. Cet. IV. hal. 7.
[40]Kamal,
Tamrin. 2005. Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau: Konsep
Pembaharuan H. ABD. Karim Amrullah Awal abad ke-20. Padang: Angkasa Raya. hal. 55.
Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV. hal. 70-71.
[41] Lebih
jauhnya lihat dalam Oman Fathurahman. 2008. Tarekat
Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media Group.
[42] Dobbin,
Chirtine. 1983. Gejolak
Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri. Diterjemahkan oleh
Lilian D. Tedjasudhana. 2008. Jakarta: Komunitas Bambu. hal. 192.
[43] Johns
memeriksa sejumlah sejarah lokal untuk memperkuat hujjahnya. Menurutnya banyak
sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru
pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik lebih terinci
mereka ini sebagai berikut: Pertama, mereka adalah para penyiar Islam
pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara
sukarela hidup dalam kemiskinan; kedua, mereka
sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan, sesuai
dengan tekat yang mereka anut; ketiga, mereka
mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik
orang-orang Indonesia yang mereka tempatkan ke bawah ajaran Islam, atau yang
merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; keempat, mereka
menguasai ilmu megis dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan; kelima, mereka
siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan menggunakan
istilah-istilah serta unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam. Azra, Azumardi. 1994. Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII. Bandung:
Mizan. hal. 32-33.
[44] Putra, Yerri S (ed.). 2007. Minangkabau
Dipersimpangan Generasi. Padang: Pusat Studi Humaniora dan Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang. hal. 81.
[45] Dt.
Rajo Penghulu, Idrus Hakimy. 2004. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di
Minangkabau. Cet. Ke-6. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hal. 36-37.
[46]
Al-Basyuni, Syekh Ahmad. 1994. Syarah Hadis: Cuplikan dari Sunah Nabi
Muhammad Saw. Diterjemahkan oleh Tarmana Ahmad. Bandung: Trigenda Karya.
hal. 129-131.
[47] Ketika Islam masuk ke daerah Minang Kabau, kawasan ini
telah tertata rapi dengan adat yang mengatur segala bidang kehidupan manusia, dan menuntut masyarakatnya untuk terikat serta tunduk
kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat, adalah budi yang
diikuti dengan akal, ilmul alur dan patut sebagai landasan batin yang merupakan
panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk sesuatu hal. Islam
membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat, yang disebut aqidah
dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak.
Syariat Islam lahir dari keyakinan iman, Islam, Hakikat, dan Makrifat serta
Tauhid sebagai dasar bagi setiap Muslim untuk menghadapi realita hidup. Datuk
Kando Marajo, Sjafnir Aboe Nain. 2008. Tuanku Imam Bonjol: Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832). Cet. Ke-3. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah. hal. 31.
[48] Sandi
adalah landasan; untuk menjaga kondisi bangunan rumah gadang, maka di setiap
tapak tiang-tiangnya dipasang batu minyak yang datar dan keras supaya tegaknya
rumah Gadang menjadi mantap. Artinya, rumah diumpamakan adat dan sandi
dimisalkan Islam. Karena di Minang Kabau lebih dahulu adat ketimbang agama
Islam. Karena Islam baru masuk ke Minang Kabau pada awal abad ke-12 Masehi.
Sedangkan di abad ke-3 Masehi, di masyarakat Minang Kabau telah tersusun rapi
oleh adat istiadatnya. Dan ini bukanlah pemikiran yang tidak logis bagi bangsa
Minang Kabau. Karena apa yang mustahil bagi bangsa lain menjadi mungkin di
Minang Kabau. Dikarenakan, kalau proses pembangunan rumah gendung, memang
terlebih dahulu pondasi dari bangunan. Tetapi, arsitektur rumah Gadang
membuatnya terbalik, yaitu waktu merakit kayu yang sudah berdiri di posisinya
masing-masing, maka tonggak-tonggaknya (rumah gadang) sengaja digantung tidak
menyentuh tanah. Barulah setelah sempurna tegak kerangka rumah gadang,
disusunlah batu picak sebagai pondasi.
[49] Hanani,
Silfia. 2002. Suarau: Aset Lokal yang
Tercecer. Bandung:
Humaniora Utama Press. hal. 50-51.
[50] Putra,
Yerri S (ed.). 2007. Minangkabau di Persimpangan Generasi. Padang:
Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang. hal. 60-62.
[51] Hamka. 1982. Ayahku. Jakarta: Umminda. Cet. IV.
hal. 6.
[52] Yulika,
Febri. 2012. Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat
Minangkabau. Yogyakarta: Gre Publishing. hal. 34-35.
[53] Ibid,
53.
[54]
Zainuddin, Musyair. 2010. Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta:
Ombak. hal. 60.
[55]Yulika,
Febri. 2012. Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat
Minangkabau. Yogyakarta: Gre Publishing. hal. 53.
[56] Dt.
Bagindo Azmi. 2008. “Masalah Kedudukan Perempuan (Padusi).” Dalam Azmi
Dt. Bagindo, (ed,). Polemik Adat Minangkabau di Internet. Jakarta:
yayasan Citra Pendidikan Indonesia dan Lembaga Adat Kebudayaan Minangkabau
(LAKM). hal. 38.
[57]
Perjanjian antara kaum ninik-mamak, ulama-ulama dan cadiak-pandai serta
lainnya, yang menghasilkan pedoman hidup bagi masyarakat Minang Kabau, yaitu Adat
Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Alam Takambang Jadi Guru. Ini
terjadi setelah selesainya perang Paderi di Minang Kabau (1803-1838). Lihat
Muhamad Rajab. 1964. Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Cet.
Ke-2. Djakarta: Balai Pustaka.
[58] Iliyas,
Abraham. 2010. Nan Empat: Dialektika, Logika, Sistematika Alam Terkembang. Lembaga
Datuk Soda. hal. xxvi.